Tetap Ngangkang, PNS Bandel Diancam Pecat

Selasa, 08 Januari 2013 – 08:07 WIB
Lhokseumawe--Penerapan bagi perempuan tak boleh mengangkang saat boncengan di sepeda motor (sepmor)  tampaknya tidak main-main diterapkan Walikota Lhokseumawe. Pasalnya, selain pada masyarakat umum, Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan bakal kena sanksi  bila kedapatan ngangkang saat dibonceng.

Penegasan itu disampaikan Wali Kota Lhokseumawe, Suaidi Yahya kepada Rakyat Aceh (Grup JPNN). “Kita akan terapkan secara serius kepada PNS perempuan kedapatan duduk mengangkang saat berboncengan naik sepeda motor,” kata walikota.

Menurut Suaidi, sanksi akan diterima PNS perempuan tidaklah tanggung-tanggung. “Bila bersangkutan memiliki jabatan maka jabatannya bakal dicopot. Bila dia staf juga ada sanksi. Ini sebagai contoh keseriusan kita menerapkan peraturan ,” katanya.

Lalu kenapa Pemerintah Kota Lhokseumawe, menerapkan peraturan ini -  Suaidi Yahya menyebutkan  tidak lain dan tak bukan ingin mengembalikan citra seorang perempuan yang bernuansa islami dengan penuh kelembutan, sopan santun/beradab  ketika dia berada di hadapan masyarakat umum.

“Kalau terlihat mengangkang saat di bonceng naik sepeda motor, hilang citra kelembutannya seorang perempuan,” papar Suaidi..

Penerapan perempuan dilarang berboncengan di sepeda motor dengan duduk mengangkang, ternyata masih mendapat kelonggaran alias perlakuan istimewa. Misalnya bila membawa orang sakit.  “Kalau tiba-tiba ada anak yang sakit dan hendak dibawa ke rumah sakit . Ya, wajar saja,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Kepegawaian Kota Lhokseumawe, Miswar saat dihubungi Rakyat Aceh, Senin (7/1) menyebutkan jumlah kaum perempuan di jajaran PNS  Pemko Lhokseumawe, terdiri 2/3 didominasi kaum hawa. Dirincikan, dari total 3.900 an PNS, sebanyak 2. 600 PNS perempuan.

“Sedangkan menduduki jabatan eselon 30 persen diantaranya. Memang masih lebih banyak laki-laki yang mendapat jabatan,” kata Miswar.

Aroma penolakan peraturan larangan ngangkang disuarakan Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Lhokseumawe dan Aceh Utara. Bahkan pihak FKMS meminta agar kebijakan tersebut dapat ditinjau ulang.  Mengingat kebijakan diputuskan hanya sepihak tanpa adanya masukan dari berbagai elemen masyarakat.

“Larangan tersebut menurut pandangan FKMS Lhokseumawe sangat diskriminatif bagi perempuan dan mengabaikan prinsip keselamatan. Kebijakan tersebut keluar tanpa kajian yang mendalam dan menerima input dari masyarakat. Sejauh mana dampak positif atas kebijakan tersebut atau malah memberikan mudharat kepada perempuan.  Kami secara tegas menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh walikota tersebut,”ungkap juru bicara FKMS,  Safwani, SH dalam konferensi persnya, Senin (7/1) di kantor LSM SAHARA, Cunda Lhokseumawe.

FKMS, meyakini bahwa kebijakan ini dikeluarkan walikota hanya pengalihan isu, dari kasus korupsi di Lhokseumawe semakin tinggi. Terutama saat ini korupsi di Dinas Kesehatan Lhokseumawe diduga sebesar Rp 3,4 milyar telah merugikan keuangan negara.

Tidak adanya agenda pembangunan  Pemko Lhokseumawe yang konfrehensif dan tidak memahami kebutuhan perempuan dan masyarakat.  FKMS sangat menyayangkan sikap pihak-pihak tertentu. Termasuk yang ikut mendukung kebijakan sepihak tersebut.  Sedangkan pada kebijakan yang penting seperti mendorong Pemko Lhokseumawe untuk tidak melakukan korupsi.

“Karena sudah jelas korupsi sangat bertentangan dengan hokum, baik hukum Islam maupun hukum formil negara. Kami jelas menolak kebijakan tersebut dan mengharapkan untuk dapat  ditinjau  ulang dan atau dievaluasi kembali,”tegas jubir FKMS. (idris, agustiar)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Gorontalo Ribut Soal Dana PIP

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler