Tetap Ngojek meski Kini Telah Jadi 'Artis'

Rabu, 09 Juli 2014 – 05:55 WIB
SOSOK SEDERHANA: Sani Tawainella dan anak-anak asuhnya di PPLP Maluku. Sosoknya layak diteladani. Foto: Diar Candra/Jawa Pos

jpnn.com - KISAH sukses Sani Tawainella menginspirasi pembuatan film Cahaya dari Timur: Beta Maluku besutan penyanyi Glenn Fredly. Dia menularkan sikap disiplin dan membuat anak-anak "lupa" terhadap trauma serta konflik agama yang terjadi di Maluku pada 1999.

***

BACA JUGA: The Raid Merantau di Festival dan Pasar Dunia

Kecintaan kepada sepak bola tergambar jelas begitu memasuki ruang depan rumah Sani Tawainella di kawasan Pasar Tulehu, Ambon. Poster timnas Belanda, Jerman, Argentina, dan Brasil terpasang di salah satu bagian dinding papan kayu rumahnya.

Di sisi yang lain membentang pula poster tim Maluku U-15 yang menjuarai Piala Medco 2006. Ada juga berbagai medali, foto, dan piagam penghargaan yang bertebaran di ruangan berukuran 3 x 3 meter tersebut.

BACA JUGA: Gara-gara Crush, Uthie Mulai Suka Cherrybelle

Sani Tawainella bukan nama yang asing bagi publik bola Maluku. Tangan dinginnya telah mengharumkan nama provinsi itu dengan prestasi-prestasi yang membanggakan. Di antaranya bersama tim Maluku U-15 yang berkali-kali menjuarai turnamen sepak bola tingkat regional maupun nasional.

Meski begitu, kecemerlangan Sani tak serta-merta berimbas pada ekonomi keluarganya. Dia tetap hidup sederhana sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Maluku –hadiah yang diberikan pemerintah setempat atas prestasi Sani pada 2009.

BACA JUGA: Jadi Director Film Crush, Rizal Mantovani Merasa Tertantang

Begitu sederhananya, hingga kini Sani masih harus mencari tambahan penghasilan lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Yakni dengan menjadi tukang ojek di kawasan pasar dan Pelabuhan Tulehu. Buat tambahan ongkos bensin, katanya. Maklum, kantornya di Kota Ambon berjarak 50 kilometer pergi pulang dari Tulehu.

Ditemui di rumahnya, bungsu sepuluh bersaudara itu tetaplah sosok yang sederhana. Hampir tiap hari dia melatih sepak bola di PPLP Maluku, pagi-sore, dan kadang membantu di SSB Tulehu Putra, lalu ngantor pada siangnya serta tetap ngojek di sela-sela waktu luangnya. Sejauh ini dia tidak pernah mengeluh atas kondisi tersebut.

Kini dedikasinya untuk memajukan sepak bola di kampung mulai terbayar. Perjalanan karir Sani semakin dikenal masyarakat Indonesia berkat novel serta film yang diangkat dari kisah nyatanya. Melalui film Cahaya dari Timur: Beta Maluku dan novel Jalan Lain ke Tulehu, bapak tiga anak itu kini sering diminta foto bareng oleh banyak orang.

”Beta di kantor diledek teman-teman sebagai ’artis’. Tapi, tak apalah. Beta bisa membuat masyarakat Tulehu dan Maluku bangga. Itu sudah membuat beta senang,” kata Sani saat ditemui kemarin (8/7).

Sani lalu menceritakan ihwal produksi film kisah hidupnya pada 2012. Suatu hari dia ditemui sutradara muda Angga Dwimas Sasongko. Sang sutradara bermaksud meminta izin ingin memfilmkan kisah hidupnya sebagai pelatih sepak bola anak-anak di Maluku. Mantan siswa Diklat Ragunan itu awalnya ragu. Sebab, dia merasa tak ada yang istimewa dari perjalanan hidupnya.

”Tapi, beta diyakinkan Dwimas, Kakak Sani pasti kaget dengan hasil akhir film ini. Dan itu benar. Ketika premier film diputar di Jakarta pada 12 Juni lalu, saya nangis dari awal sampai akhir film itu. Bagus sekali,” kenang Sani.

Film itu dibuat selama enam bulan pada 2013. Sani menunggui langsung syuting film tersebut. Meski dia sempat sungkan karena berkali-kali meminta izin ke tempatnya bekerja, kepala dinasnya toh mengizinkan.

Sani mengakui, dalam beberapa bagian film itu, ada yang didramatisasi. Tapi, dia tidak keberatan karena film mesti perlu bumbu agar menarik. Misalnya scene Sani (yang diperankan aktor Chicco Jerikho) menjual kambing milik istrinya untuk menalangi biaya pengiriman tim Maluku bertanding di Jakarta. Pada kenyataannya, Sani dan Haspa, istrinya, tak pernah memiliki kambing.

Di antara scene-scene di film Cahaya dari Timur: Beta Maluku tersebut, Sani punya yang paling istimewa. Yakni adegan dirinya pamit dengan mencium kening sang istri untuk mendampingi tim Maluku U-15 ke ibu kota. ”Beta sama sekali tak meninggalkan uang buat Bu Haspa dan anak-anak,” ungkap Sani, ”itu kenangan yang paling beta sulit lupakan sampai sekarang.”

Sani mengalami saat-saat yang mendebarkan ketika berjuang mati-matian untuk menyelamatkan anak-anak Tulehu agar tak terseret perang agama di Ambon pada akhir 90-an. Sani mengenang masa itu sebagai masa kritis, bagaimana caranya bertahan hidup dan bukan bagaimana bisa makan.

Konflik horizontal antara pemeluk Islam dan Kristen pada 1999 awalnya hanya terjadi di Kota Ambon. Namun, seiring dengan waktu, konflik merembet ke daerah lain, termasuk ke Tulehu, kampung halamannya.

Nah, Sani yang tak ingin konflik itu menjadi trauma pada anak-anak lalu mencari akal bagaimana menghindarkan anak-anak dari pertikaian agama tersebut. Mantan pemain timnas junior itu kemudian mengajak anak-anak di sekitar rumahnya bermain sepak bola di Lapangan Matawaru, Tulehu, setiap sore.

”Seusai latihan, beta usahakan mereka tetap senang dan terhibur. Misalnya, beta mainkan gitar, lalu anak-anak menyanyi. Atau menceritakan enaknya hidup di Jakarta dan memotivasi mereka agar suatu saat mereka bisa ke Jakarta,” paparnya.

Sani pun menanamkan sikap disiplin kepada anak-anak didiknya itu. Tak cuma di lapangan bola, tapi juga dalam bersekolah. Kalau ada yang nilainya merosot atau ketahuan bolos, anak pasangan (alm) Idris Tawainella Mote-Sehat Ohorella tersebut akan memarahi mereka seusai latihan.

Selain itu, Sani menanamkan unsur-unsur toleransi beragama. Ketika membangun skuad Maluku U-15 menuju Piala Medco 2006 di Jakarta, Sani memasukkan beberapa pemain beragama Nasrani. Maka, tim itu merupakan gabungan pemain Islam dan Nasrani. Meski berisiko, dia tetap bersikeras mengajari anak-anak bertoleransi.

”Yang beta nilai ketika itu adalah kemampuan anak. Kalau dia memang dibutuhkan dalam tim, pasti beta masukkan. Beta tak melihat dari mana asalnya atau apa agamanya. Semua bermain untuk Maluku to?” tutur dia.

Menurut Sani, memotivasi pesepak bola usia anak-anak remaja bukan melulu soal kalah dan menang. Tapi juga bagaimana membuat anak-anak di lapangan merasa senang bermain bola. Sani tak pernah menuntut anak asuhnya harus menang. Kemenangan datang seiring dengan bagusnya permainan di lapangan.

Berkat kemenangan di Piala Medco delapan tahun silam, memori gesekan antar-umat beragama yang pernah terjadi di Maluku seolah sirna. Sani masih ingat betul bagaimana ribuan orang menyambutnya sepulang dari turnamen kelompok umur usia di bawah 15 tahun itu di Bandara Pattimura, Ambon. Semua mengarak Sani dan timnya yang sukses menjuarai kejuaraan tingkat nasional tersebut.

Usaha keras Sani menggembleng anak-anak itu dinilai berhasil. Setelah juara Piala Medco, beberapa anak didiknya kini menembus timnas U-23 ataupun timnas senior. Misalnya Alfin Tuasalamony, Risky Pellu, Ramdani Lestaluhu, dan Hendra Bayauw.

”Beta berharap kisah sukses di Piala Medco 2006 itu membuat suatu saat beta menjadi pelatih tim nasional. Semoga PSSI melihat juga potensi-potensi pelatih lokal seperti beta,” harap Sani.

Sementara itu, sambutan luar biasa diberikan masyarakat Ambon terhadap film Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Satu-satunya jaringan bioskop 21 di Ambon Plasa yang punya dua studio memutar film itu sejak 19 Juni lalu. Dengan kapasitas 144 orang setiap studio, film yang dibintangi Chicco Jerikho, Jajang C. Noer, Shafira Umm, Abdurrahman Arif, Aufa Assagaf, dan Babeto Leutually tersebut selalu penuh ditonton masyarakat.

Atmosfer menonton film itu pun sangat berbeda dengan menonton di bioskop kota lain. Jawa Pos merasakan sendiri bagaimana penonton di studio di Ambon berkomentar sepanjang film berdurasi 120 menit itu Senin malam lalu (7/7).

Puncaknya terjadi ketika pemain-pemain Maluku meraih kemenangan dalam drama adu penalti pada pertandingan final Piala Medco 2006 melawan Jakarta. Pekik gol terdengar di seluruh sudut studio.

”Kami bangga dengan film ini. Ini satu-satunya film yang membuat sepak bola Maluku terangkat lagi di level nasional. Bahwa sepak bola Maluku tak pernah berhenti melahirkan talenta berbakat terlihat dari kisah Sani Tawainella ini,” ucap Rifai Tehupelasuri, seorang warga. (diar candra/c9/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cherrybelle Tampil Maksimal dalam Film Crush


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler