jpnn.com, LOMBOK BARAT - Ketua Ikatan Alumni Al Azhar Indonesia TGB HM Zainul Majdi mengatakan, perlakuan tidak adil bisa memicu radikalisme.
Untuk menarik benang merahnya, sambung mantan gubernur Nusa Tenggara Barat itu, tidak selalu dengan cara keras.
BACA JUGA: TGB Zainul Majdi Raih Penghargaan Bergengsi dari Jokowi
"Ini berdasarkan beberapa kali pengalaman ketika saya menangani salah satu pondok pesantren," kata TGB di Hotel Jayakarta, Lombok Barat, Kamis (25/7).
BACA JUGA: TGB Zainul Majdi Raih Penghargaan Bergengsi dari Jokowi
BACA JUGA: Kemenag Ajak Masyarakat Lawan Radikalisme
Dia menambahkan, kala itu s radikal selalu diidentikkan dengan Bima. Menurut dia, stigma itu tidak baik karena seolah bentuk ketidakberdayaan.
"Saya pun minta carikan saya pondok paling radikal," lanjutnya.
BACA JUGA: Rencana Menhan untuk 3 Persen Anggota TNI Penganut Radikalisme
Pencarian pun membuahkan hasil. Ada pondok di pelosok Bima. TGB menjalin dialog dengan pengasuh pondok.
"Ada pondok bagus, padahal dua atau tiga tahun berdiri. Pondok itu mendapat dana aspirasi sehingga bisa dibangun," terangnya.
Saat itu pengasuh, sambung TGB, pondok merasa mendapatkan perlakuan yang kurang adil.
"Pondok yang dipimpinnya, jangankan bangunan, jalan saja tak diperbaiki. Bahkan, ustaz di pondok ini dijauhi tokoh yang ada," sambung TGB.
Dia menambahkan, pengasuh pondok merasa bahagia karena salah satu muridnya menjadi pengibar bendera di kantor gubernur NTB.
“Di sana tidak naikkan bendera, tetapi mendukung muridnya jadi pengibar. Akhirnya kami semua mengajak dari musala ke tengah pondok mengibarkan bendera," imbuhnya.
TGB pun meminta jajarannya segera memenuhi dan melengkapi kebutuhan pondok tersebut.
"Butuh kendaraan operasional, saya minta segera berikan. Ini bisa diketahui setelah ada komunikasi," tegasnya.
Selama menjadi gubernur, TGB bermitra dengan Polda NTB, Korem, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Daerah (Binda) untuk menghadapi radikalisme.
Ada pihak-pihak yang menghadapi radikalisme menggunakan tafsiran yang paling mudah dan tidak mau susah payah mencari tahu di lapangan.
Menurut dia, pendekatan dengan metode keras tidak bisa diterapkan untuk mengatasi radikalisme di NTB
"Lihat kasus tiap kasus di daerah soal SDA, tak bisa hanya khotbah," bebernya.
Dia menjelaskan, faktor utama yang bersifat horisontal dibahas. Setidaknya ada tiga faktor yang selalu muncul dan menjadi pemicu radikalisme.
Yaitu keagamaan, perebutan sumber daya alam (SDA), dan penegakan hukum yang belum optimal.
"Tidak ada fenomena sosial yang faktornya tunggal. Dengan pendekatan bersama itu masuk, relatif selama dua periode (gubernur) lebih cair," ujar TGB.
TGB mengatakan, perbedaan membuat persatuan di Indonesia semakin kuat. Menurut dia, semua pihak harus mensyukuri warisan tidak terlihat dari para pendiri bangsa.
"Bayangkan kalau Bung Karno berkeras dengan aliran politiknya, M Yamin dengan aliran politiknya, atau Syekh KH Wahid Hasyim dengan keagamaannya. Mereka dengan niat baik merumuskan semuanya. Kita semua bisa mewarisi," terang TGB. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Saran DPR Atasi Kampus Terpapar Radikalisme
Redaktur : Tim Redaksi