The Cliff, Kiat Manchester United Merangkul Loyalitas Warga Kota

David Beckham Jadi Model Inspiratif Anak-Anak

Senin, 26 Maret 2012 – 00:49 WIB
Wartawan Jawa Pos Retnachrista RS di depan The Cliff.

Sebelum memiliki Trafford Training Center yang megah dan modern di Carrington, skuad Manchester United (MU) berlatih di kompleks latihan kecil bernama The Cliff. Wartawan Jawa Pos RETNACHRISTA R.S. yang baru pulang dari Inggris melaporkan, training ground sederhana itu kini menjadi perekat relasi MU dengan warga Manchester yang mencintai sepak bola. 

= = = = = = =

THE Cliff yang terletak di Lower Broughton Road, Salford, itu tidak besar. Terdiri atas dua bangunan, yang satu tampak lebih tua daripada yang lain plus satu lapangan yang cukup besar. Bangunan pertama terletak di sisi kanan lapangan, berbentuk persegi, dan berlantai dua. Dindingnya yang tersusun dari bricks yang sudah kusam membuat gedung semakin tampak kuno.

Sementara itu, bangunan kedua yang kini menjadi wajah The Cliff dan menghadap ke jalan tampak jauh lebih baru. Lantai 2 gedung tersebut berisi lapangan indoor dengan rumput sintetis dan ruang makan. Sedangkan lantai bawahnya menjadi kantor MU Foundation.

"Gedung ini memang lebih baru. Dibangun pada dekade 1960-an, menjelang Inggris jadi host Piala Dunia 1966," ungkap Alan Lester, salah seorang pengurus The Cliff.  "Kalau yang itu, wah, itu ada sejak The Cliff berdiri," imbuh dia seraya menunjuk ke arah gedung yang tua.

Menurut Lester, kompleks latihan tersebut ada sejak pertengahan 1860. Pada awal 1900-an, pemiliknya adalah sebuah klub rugbi lokal, Broughton Rangers. The Cliff menjadi kandang mereka hingga 1933.

Lima tahun kemudian, United mengambil alih kompleks itu dengan status sewa. Manajemen Setan Merah, sebutan United, menggunakannya sebagai tempat latihan untuk menghindari kerusakan rumput di Old Trafford yang mungkin terjadi selama sesi latihan. Pada 1951 barulah mereka resmi membeli The Cliff.

"Pada tahun itu harganya cuma GBP 110 (setara dengan Rp 1,6 juta, Red) untuk seluruh kompleks ini," ucap Lester dengan nada yang menimbulkan kagum. "Sejak itu, The Cliff menjadi bagian dari sejarah United. Kami merebut treble winners kali pertama ketika masih berlatih di sini," imbuh dia dengan bangga.

Skuad United memang baru boyongan ke Carrington pada awal 2000. Artinya, nama-nama besar Setan Merah modern, seperti Roy Keane, Peter Schmeichel, Teddy Sheringham, serta Ole Gunnar Solskjaer, pernah merasakan gemblengan Sir Alex Ferguson di kompleks yang sederhana itu.

Sisa-sisa pemain beken yang pernah menginjakkan kaki di sana cukup tersebar. Salah satunya didapati di lapangan parkir. Kalau di Indonesia mobil pejabat diberi spot khusus yang ditandai dengan cat nomor polisi kendaraan, spot parkir di The Cliff diberi ukiran inisial si pemain. Tidak heran, mereka hobi datang ke tempat latihan dengan berganti-ganti mobil.

"Pemain paling terkenal United pernah parkir di sini. Itu tempatnya," ucap Lester sambil menunjuk spot dengan inisial DB alias David Beckham. "Kami sangat bangga pernah memiliki dia," imbuh Lester. 

Lantas, apa yang terjadi setelah pasukan Ferguson diboyong ke Carrington? MU Foundation, yayasan resmi yang dikelola manajemen United, menjadikan The Cliff markas untuk community football. Maksudnya, semua kegiatan sepak bola warga Manchester boleh digeber di sana. Baik latihan maupun pertandingan amatir kecil-kecilan.

"Tim anak-anak, tim junior, sampai usia di bawah 17 tahun dan klub sepak bola perempuan yang bisa berlatih di sini. Mereka bisa memanfaatkan lapangan outdoor maupun indoor. Latihan fisik juga bisa," sebut Lester.

"Sayang, ini belum ada yang latihan. Biasanya sore baru mulai," ucapnya.

Saat itu jam memang baru menunjukkan pukul 11.00. "Manchester United sengaja mempertahankan training ground ini. Mereka menyadari betul pentingnya pembinaan pemain muda. Apalagi, United cukup sering mencetak bintang muda dari akademi," papar Lester.

"Saat ini mungkin belum. Tapi, siapa tahu, di tahun-tahun mendatang bermunculan bintang baru dari sini," lanjut pria 74 tahun yang pernah bermain di klub semiprofesional tersebut.

Untuk ukuran tim profesional, The Cliff memang terlalu sederhana. Tapi, untuk level pembinaan, mereka sangat ideal. Lester lalu menunjukkan ruang di gedung yang tua. Begitu masuk, pengunjung disambut ruang mungil berukuran 2 x 5 meter. Hanya terdapat sofa persegi yang mepet dinding serta tiga pigura berisi lukisan kepala para pemain United.

"Anak-anak biasa menunggu jemputan orang tua masing-masing di sini. Di luar terlalu dingin," jelas Lester.

Naik ke lantai 2, cukup banyak yang bisa dilihat. Salah satunya kantor pelatih. Tidak besar juga dan sangat sederhana. Jendelanya sangat besar dengan pemandangan lapangan. Pelatih bisa mengerjakan paperwork sembari mengawasi pasukannya berlatih di luar.

Terpisah beberapa ruang dari situ, terdapat tempat kebugaran dengan alat-alat yang cukup lengkap.  Di sisi lain gedung ada ruang ganti. Ruang ganti itu lucu, ukurannya dua kali ruang ganti biasanya dan seperti punya dua wajah. Salah satu sisinya hanya berupa bangku yang disusun melingkar. Satu lagi cukup apik, dindingnya ditutup kayu berpelitur halus.

"Yang sangat sederhana ini untuk anak-anak yang lebih kecil. Kalau mereka naik kelompok umur, pindah ke situ," ujar Lester sambil menunjuk ruang ganti yang serbakayu. Ada pula ruang perawatan dan fisioterapi buat pemain yang cedera.

Setelah berlatih, anak-anak biasa berkumpul di common room. Mereka bisa makan, membicarakan latihan dengan pelatih, atau sekadar ngobrol santai. Di situ terdapat poster-poster yang menceritakan perkembangan The Cliff, mulai kali pertama diakuisisi United sampai era Ferguson. Foto culun si pelatih saat masih berusia 50 tahunan tergambar di poster.

"Kami yakin, fasilitas yang ada di The Cliff sangat memadai untuk tim junior," ucap Lester. "Secara fisik, mungkin bukan training ground terbaik. Tapi, kami merancangnya supaya mirip dengan pengelolaan tim profesional. Bahwa pemain-pemain hebat seperti David Beckham dan Roy Keane pernah bermain di sini, itu sudah jadi motivasi terbaik bagi anak-anak," lanjutnya.

The Cliff punya event sendiri. Tiap Sabtu mereka mengadakan latihan terbuka untuk umum. Setiap anak hanya membayar GBP 4 (sekitar Rp 58 ribu). Sedangkan yang menangani mereka adalah pelatih dari FA yang berkualifikasi tinggi. Tidak perlu booking tempat, semua tinggal datang dengan membawa peralatan dan air minum sendiri, lalu bermain.

MU Foundation juga memiliki status center of excellence dari FA. Artinya, mereka bisa mengembangkan potensi pemain lebih jauh. Itu dimanfaatkan untuk membina sepak bola perempuan. Kelompok usianya hampir sama, yakni mulai 9 tahun hingga 17 tahun. Tapi, jika terpilih masuk tim cewek FA, mereka akan dibina dengan level tinggi di The Cliff.

"Pada dasarnya semua anak bisa memanfaatkan fasilitas di The Cliff. Pria maupun perempuan. Untuk biaya, juga tidak perlu risau. Sebab, MU Foundation yang mengelola tempat ini sudah memikirkan semuanya," ungkap Lester.

"Kami berjalan seperti yayasan lain. Mengadakan fund raising, tapi fans United di mana pun boleh mengulurkan donnas," lanjutnya. 

MU Foundation terbukti menjadi cara ampuh untuk menjaga loyalitas warga Manchester. Sejak kecil, tanpa sengaja anak-anak sudah menjadikan United dan pemain-pemainnya sebagai kiblat. Kisah-kisah heroik yang tersebar di setiap lorong dan ruang di The Cliff pun efektif menjadi inspirasi anak-anak untuk mengikuti jejak mereka. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Liku-Liku Hidup Artini, Bodyguard Langganan Perempuan Eksekutif


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler