jpnn.com - JAKARTA – Pasar keuangan dunia kembali dibayangi potensi kenaikan suku bunga The Fed. Indonesia pun mulai waspada terhadap pembalikan modal yang bakal terjadi jika bank sentral AS benar-benar menempuh kebijakan tersebut.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed akan berpengaruh terhadap arus modal yang masuk ke Indonesia.
BACA JUGA: Hadapi Long Weekend, KAI Operasikan 10 KA Tambahan
’’Mereka mengatakan kemungkinan menaikkan FFR (fed fund rate) lebih tinggi di tahun ini dan itu akan dilakukan satu kali. Ini sudah membuat suatu volatility di pasar keuangan dunia,’’ ujar Agus di kantornya akhir pekan lalu.
Agus menuturkan, dampak isu kenaikan suku bunga The Fed mulai dirasakan di pasar keuangan. Bahkan, pasar finansial di tanah air belakangan mencatat arus modal keluar atau capital outflow.
BACA JUGA: Dobrak Pasar, Kerja Sama Dengan Perusahaan Malaysia
’’Untuk negara di dunia, banyak yang kemudian mengalami capital reversal (penarikan modal) menuju ke Amerika. Ini juga berdampak ke Indonesia,’’ kata mantan menteri keuangan tersebut.
Agus menambahkan, kondisi itu perlu diwaspadai. Sebab, meski secara keseluruhan fundamen ekonomi masih terjaga, ada risiko dari defisit transaksi berjalan. Kondisi tersebut membuat ketergantungan ekonomi terhadap masuknya dana asing masih cukup tinggi.
BACA JUGA: Libur Idul Adha, Tiket KA Sudah Ludes
Dampak dari isu kenaikan FFR, jelas Agus, semestinya bisa diantisipasi. Salah satu kuncinya adalah tetap menjaga fundamen agar tetap berada pada tren yang baik.
’’Salah satu indikatornya yakni pertumbuhan ekonomi yang berada di level 5,18 persen di kuartal kedua 2016 masih menunjukkan angka yang baik. Indikator lainnya tingkat inflasi yang juga masih terjaga, yakni 2,79 persen,’’ katanya.
Meski dibayangi risiko pelemahan daya beli, secara umum bank sentral memprediksi capaian inflasi masih sesuai dengan target, yakni 4 persen plus minus 1 persen. Bahkan, di akhir tahun, BI memprediksi inflasi mengarah ke kisaran di bawah 3,5 persen dan sepanjang 2016 bisa di kisaran 3,2 persen.
Defisit transaksi berjalan juga masih terjaga. ’’Karena kita sekarang ini di kuartal II 2016, itu kan defisit transaksi berjalannya ada di kisaran 2 persen dari GDP. Di akhir tahun diperkirakan 2,2 persen dari GDP,’’ jelasnya.
Tak berhenti di situ, salah satu kekuatan yang diyakini masih aman adalah cadangan devisa.
’’Kita dalam kondisi cukup kuat. Kita juga mempunyai cadangan devisa USD 111 miliar. Jumlah itu di atas delapan bulan untuk memenuhi kewajiban impor dan pembayaran kewajiban kita,’’ ujarnya.
Senior Economist Kenta Institute Eric Alexander Sugandi mengungkapkan hal senada. ’’Saya expect suku bunga The Fed akan naik satu kali sebanyak 25 bps. Prediksinya di kuartal keempat tahun ini,’’ ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.
Dia juga memprediksi ada capital outflow yang akhirnya berkorelasi pada tekanan mata uang negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia.
’’Namun, tekanan ini tidak lama dan tidak sebesar kenaikan suku bunga bank sentral AS yang pertama. Karena para pelaku pasar finansial juga sudah expect bahwa suku bunga bank sentral AS akan naik lagi pada akhirnya,’’ katanya.
Eric memprediksi, pada akhir kuartal ketiga tahun ini, rupiah bergerak di level Rp 13.500 per USD. Sedangkan di akhir tahun akan tercatat kondisi yang lebih baik, yakni berada di kisaran Rp 13.300 per USD. (dee/c19/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Garap PLTGU Jawa 1, Pertamina Libatkan 3 Perusahaan Asing
Redaktur : Tim Redaksi