The Little Soeharto

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 16 Februari 2022 – 13:32 WIB
Presiden Jokowi. Foto: Ricardo

jpnn.com - Belum ada tokoh di Indonesia atau di negara lain yang mendapat julukan ‘’The Little Soeharto’’, atau Soeharto Kecil.

Di Malaysia, Mahathir Mohammad sering disejajarkan dengan Presiden Soekarno, dan mendapat julukan sebagai ‘’The Little Soekarno’’.  Biasanya, orang Indonesia suka protes kalau ada propertinya yang dijarah oleh Malaysia.

BACA JUGA: Petani di Jawa Timur Pengin Pak Jokowi Lanjutkan Kepemimpinan

Namun, ketika julukan The Little Soekarno dijarah oleh Malaysia, tidak ada suara protes dari Indonesia.

Beberapa hari belakangan ini media sosial gaduh oleh unggahan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang memampangkan foto dua muka, separuh Soeharto dan setengah Joko Widodo. Foto itu menggambarkan dua sosok yang menjadi satu, atau satu sosok yang punya dua sifat yang sama.

BACA JUGA: Baru Pertama Mengojek, Ibu Novi Kehilangan Motor, Presiden Jokowi Tergerak

Narasi foto itu mencantumkan sepuluh kesamaan antara Jokowi dengan Soeharto. Semua poin itu berfokus pada satu titik yang sama, yaitu kedua presiden itu sama-sama otoriter dan kebijakannya tidak kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi.

YLBHI berhenti sampai pada perbandingan itu saja, dan tidak memberi julukan kepada Jokowi sebagai The New Soeharto atau The Little Soeharto.

BACA JUGA: Bermula dari Bukit Soeharto, Kini Ada 2 Patung Pak Harto di Ponorogo

Banyak pandit politik yang menyebut rezim sekarang ini sebagai neo-orba, tetapi belum ada yang menjuluki Jokowi sebagai The New Soeharto, atau The Little Soeharto.

Julukan itu tentu terasa sebagai julukan yang merendahkan. Beda dengan julukan The Little Soekarno yang disandang Mahathir, yang terasa membanggakan.

Sebenarnya ada nuansa negatif juga dalam julukan yang disandang Mahathir itu, tetapi secara keseluruhan julukan itu memberi reputasi positif kepada Mahathir.

Mahathir mendapat julukan itu karena sikapnya yang tegas terhadap Barat. Nasionalisme Mahathir sangat cadas sehingga terkadang dianggap chauvinistis dan agak ekstrem. Mahathir tidak pernah canggung membela bangsa Melayu bumiputra dengan berbagai kebijakan affirmative action yang tegas.

Mahathir sangat kritis terhadap perangai bumiputera orang-orang Melayu di Malaysia. Dalam bukunya ‘’The Malay Dilemma’’ Mahathir mengritik bumiputera Melayu sebagai orang-orang yang malas dan mempunyai daya karsa lemah.

Dengan posisi budaya semacam itu bumiputera Malaysia tidak akan bisa bersaing dengan warga Malaysia lain yang minoritas seperti China, India, dan Eropa.

Mahathir tidak segan membuat kebijakan affirmative actions yang memberi privilese kepada bumiputera untuk bisa bersaing dengan kelompok ras lainnya. Orang-orang bumiputera diberi kemudahan kredit usaha, beasiswa pendidikan, dan beberapa privilese sosial lainnya.

Kebijakan ini diaggap diskriminatif, tetapi Mahathir tidak peduli.

Menurutnya, bangsa Melayu ketinggalan jauh dari warga China dan Eropa, dan karena itu mereka tidak akan bisa bersaing secara bebas dan terbuka. Karena itulah maka pemerintah harus turun tangan membantu bumiputera dengan berbagai bantuan sosial dan ekonomi.

Dengan kebijakan ini pelan-pelan warga bumiputera Malaysia bisa mengalami mobilitas sosial ke atas sejajar dengan warga minoritas lain.

Sikap Mahathir terhadap modal asing juga tegas. Malaysia adalah anggota negara persemakmuran di bawah Inggris. Malaysia pernah dijajah oleh Inggris yang kemudian memerdekakannya. Secara historis dan kultural Malaysia punya ikatan kuat dengan Inggris.

Toh, hal ini tidak membuat Mahathir segan mengkritik bekas tuannya. Dalam banyak kesempatan Mahathir bersikap tegas dan kritis terhadap Inggris.

Mahathir juga tidak takut berkonfrontasi dengan kekuatan besar lain termasuk Amerika Serikat. Mahathir sering berkomentar tajam mengenai sikap Israel dan Amerika yang zalim di Timur Tengah.

Mahathir tidak sungkan mengkritik bangsa Yahudi yang disebutnya sebagai lintah darat ekonomi.

Pernyataan Mahathir dianggap sebagai diskriminatif dan anti-semit, tetapi Mahathir tidak peduli. Bung Karno berani menolak bantuan ekonomi Amerika Serikat yang dianggapnya membelenggu dan mengusirnya ke neraka, ‘’Go to hell with your aids’’.

Mahathir membuat echo pernyataan Bung Karno dengan penolakannya yang tegas terhadap bantuan asing yang menjebak.

Langkah fenomenal Mahathir diambil pada saat krisis moneter 1997. Ketika itu IMF (dana moneter internasional) memberikan resep liberalisasi ekonomi kepada semua negara Asia dan Amerika Latin yang sedang megap-megap oleh krismon.

Resep umum IMF itu adalah liberalisasi perbankan dan keuangan dan swastanisasi perusahaan-perusahaan negara.

Indonesia menerima dengan takzim resep IMF itu. Direktur IMF Michel Camdessuss berdiri sambil bersidekap menyaksikan Presiden Soeharto yang menandatangani traktat penyerahan kedaulatan kepada IMF.

Lagaknya seperti penguasa VOC yang sedang menyaksikan penyerahan kekuasaan oleh raja Jawa.

Mahathir menolak resep IMF. Dia menggaungkan kembali jargon Bung Karno ‘’go to hell with your recipe’’, pergilah ke neraka dengan resepmu. Malaysia memilih memakai resepnya sendiri untuk menyelesaikan krisis ekonominya.

Terbukti, Malaysia bisa menyelesaikan krisis ekonominya dengan tuntas dan bisa move on sampai sekarang.

Indonesia yang menelan mentah-mentah resep IMF harus mengalami derita berkepanjangan dari krisis multidimensi itu. Krisis ekonomi berubah menjadi krisis politik yang dampaknya masih tidak bisa sepenuhnya hilang sampai sekarang.

Soeharto mundur mewariskan destabilitas sosial politik yang sampai sekarang masih terasa.

Tiga puluh tahun memimpin Indonesia, Soeharto menjadikan pembangunanisme sebagai legitimasi utama pemerintahannya. Soeharto sangat terobsesi oleh pembangunan dan melakukan apa saja demi memastikan pembangunan berhasil.

Soeharto mendapat gelar ‘’Bapak Pembangunan’’ sebuah gelar yang bersifat ‘’self-proclaimed’’ yang dibuatnya sendiri untuk dirinya sendiri.

Pembangunan membutuhkan stabilitas sosial dan politik. Sumber destabilitas politik adalah partai-partai politik. Soeharto kemudian melakukan rekayasa yang canggih untuk menjinakkan partai-partai politik. Dari puluhan parpol Soeharto berhasil mereduksinya menjadi dua partai merger yang dipaksakan berdasarkan ideologi nasionalisme dan agama.

Atas nama pembangunan Soeharto mengerahkan kekuatan ABRI untuk mengintimidasi dan merampas tanah rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang stabil selama puluhan tahun menjadi legitimasi utama Soeharto.

Ia menjaga supaya pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 7 persen setiap tahun. Dengan stabilitas pertumbuhan itu Indonesia masuk dalam kategori ‘’Macan Asia’’ bersama Thailand, Singapura, dan Taiwan.

Bangunan yang diarsiteki Soeharto terlihat megah dan mewah, tetapi ternyata fundamentalnya rapuh. Pondasi pembangunan ekonomi keropos karena banyak nepotisme, kolusi, dan korupsi.

Bangunan sosial yang kelihatan indah dan menawan ternyata menyimpan borok yang mengerikan, karena dibangun tanpa demokrasi dan hanya mengandalkan kekuatan represif yang mengintimidasi.

Soeharto mendasarkan legitimasinya dengan menciptakan musuh bersama. Maka diciptakanlah musuh-musuh itu dalam bentuk kelompok-kelompok yang disebut sebagai ekstrem. Kelompok ekstrem kiri atau ‘’eki’’ adalah komunisme dan kelompok ekstrem kanan atau ‘’eka’’ adalah kelompok radikan Islam.

Dua musuh itu selalu diembuskan sebagai ancaman untuk memperkuat legitimasi rezim Orde Baru.

Soeharto sadar bahwa opini publik akan berpengaruh terhadap stabilitas. Maka, saluran utama opini publik dikontrol dengan ketat. Pers sebagai sarana pembentukan dan penyaluran opini publik dikendalikan dengan ketat. Pers yang seharusnya berfungsi sebagai watch dog, anjing penjaga, berubah menjadi lap dog alias anjing pangkuan.

Pembangunan tanpa demokrasi ala Soeharto terbukti rapuh. Selama ini selalu ada yang mempertentangkan antara demokrasi dan pembangunan. Demokrasi, katanya, tidak bisa membuat kenyang. Rakyat butuh nasi, bukan demokrasi.

Filsuf Inggris kelahiran India, Amartya Sen, mengingatkan bahaya pandangan itu. Sen menulis dalam ‘’Development as Freedom’’, bahwa demokrasi dan pembangunan harus berjalan seiring sejalan. Memprioritaskan salah satu di antaranya akan menyebabkan petaka.

Jalan yang harus ditempuh demokrasi dan pembangunan memang panjang dan berliku. Sen mengingatkan bahwa jalan itulah yang harus ditempuh untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan membahagiakan.

Soeharto terbukti gagal, karena memilih jalan pembangunan dan mengabaikan jalan demokrasi. Jokowi tentu sudah tahu sejarah itu. Namun, apakah Jokowi belajar dari sejarah Soeharto?

Daftar sepuluh kesamaan Jokowi dengan Soeharto yang disodorkan YLBHI menunjukkan bahwa Jokowi memilih jalan yang kurang lebih sama dengan Soeharto.

Akankah Jokowi menjadi ‘’The Little Soharto’’? Sejarah yang akan menjawab. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler