The Lucky Country

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 01 Desember 2022 – 22:15 WIB
Para pemain Australia tampak emosional setelah mengalahkan Tunisia pada lanjutan Grup D Piala Dunia 2022. Foto: Twitter/FIFAWorldCup

jpnn.com - Australia disebut sebagai ‘’The Lucky Country’’ alias negeri beruntung atau negeri mujur.

Istilah ini dipopulerkan oleh penulis Donald Horne pada 1964 melalui buku berjudul sama.

BACA JUGA: Gugur di Fase Grup Piala Dunia 2022, Meksiko Akhiri Kerja Sama dengan Pelatih

Sejak itu julukan tersebut terkenal ke seluruh dunia dan melekat sebagai julukan khas Australia sampai sekarang.

Panggung Piala Dunia 2022 tahun ini seolah menegaskan posisi Australia sebagai The Lucky Country.

BACA JUGA: Dosa Besar Eks PM Morrison Rusak Kredibilitas Pemerintah Australia

Tidak ada yang menduga Australia bakal lolos ke babak 16 besar.

Dalam pertandingan terakhir Grup D Rabu (30/11) tidak ada yang menjagokan Australia bisa mengalahkan Denmark yang lebih perkasa dan lebih diunggulkan.

BACA JUGA: PM Anthony Albanese Penuhi Janji Pemilu, Australia Akhirnya Membentuk Komisi Anti-Korupsi

Akan tetapi, itulah yang terjadi. Denmark boleh lebih perkasa dan diunggulkan.

Namun, Denmark tidak punya ‘’luck’’, keberuntungan.

Maka Dewi Fortuna sebagai simbol pembawa keberuntungan menjatuhkan pilihannya kepada Australia.

Gol tunggal Mathew Lackie pada menit ke-60 cukup untuk meloloskan Australia ke babak gugur dan mengirimkan Denmark pulang ke rumah.

Pertandingan terakhir Grup D berlangsung menegangkan. Dua kejutan terjadi.

Prancis yang meladeni tim anjing bawah (underdog) Tunisia kalah 0-1.

Akan tetapi, Prancis masih tetap lolos ke babak gugur sebagai juara grup. Australia mendampingi Prancis sebagai runner up.

Australia benar-benar dinaungi keberuntungan. Itulah mengapa mereka disebut sebagai The Lucky Country, meskipun sebenaranya mereka tidak benar-benar beruntung.

Keberuntungan Australia terjadi karena Denmark bermain jelek. Ini menjadi keberuntungan kedua Australia dengan lolos ke babak kedua setelah 2006.

Julukan The Lukcy Country dipahami secara salah kaprah.

Begitu kata Donald Horne. Hampir 60 tahun berselang bukunya sampai sekarang masih terus dicetak ulang dan menjadi bacaan wajib di Australia.

Menurut Horne, Australia beruntung bukan dalam artian mujur, tapi dalam artian selamat dari kecelakaan.

Orang sering mengatakan bahwa keberuntungan adalah takdir, sudah melekat di badan, atau kata orang Jawa ‘’gawan bayi’’, bawaan sejak lahir.

Orang beruntung akan selalu beruntung di mana pun dan apapun yang dilakukan.

Namun, Australia bukan seperti itu. Australia beruntung karena selamat dari nasib buruk.

Orang mujur akan selalu beruntung dalam setiap perdagangan. Jualan apa saja, atau bisnis apa saja, ia selalu dapat laba.

Akan tetapi, ada juga orang mujur yang selamat dari kecelakaan hanya karena nasib baik.

Australia lebih cocok dengan mujur tipe kedua daripada mujur yang pertama.

Australia dikenal sebagai negara sekaligus benua yang ditemukan oleh penjelajah Inggris James Cook pada 1770.

Setelah menemukan daratan itu, Cook serta merta mengeklaim wilayah itu sebagai bagian dari Kerajaan Inggris.

Bagaimana ceritanya sebuah daratan di wilayah Asia yang jaraknya ribuan kilometer bisa diklaim sebagai wilayah Inggris? Itulah bukti kolonialisme Inggris yang rakus dan serakah.

Wilayah daratan itu sudah dihuni oleh suku nomaden yang dikenal sebagai Aborigin, yang berkulit hitam dan berambut keriting mirip dengan orang Melanesia yang tinggal di Papua.

Puluhan ribu tahun sebelumnya pulau besar itu tersambung menjadi satu. Lalu terjadi guncangan besar yang memisahkannya menjadi dua.

Karena itu, Aborigin sebagai penduduk asli Australia punya kesamaan suku dengan penduduk Papua.

Para pelaut Makassar pun sudah lama melakukan hubungan dagang dengan suku Aborigin jauh sebelum Kapten Cook menemukan Australia.

Karena itu, klaim Inggris bahwa Cook adalah penemu pertama Australia tidak berdasar dan hanya sekadar bualan.

Akan tetapi, orang-orang kulit putih itu tidak peduli. Mereka menduduki wilayah itu dan mengklaimnya sebagai pemilik sah.

Orang-orang Aborigin yang tinggal di padang-padang yang tersebar di Tasmania dianggap tidak ada.

Prinsip yang diterapkan oleh Inggris adalah ‘’terra nulius’’ atau wilayah kosong.

Australia dianggap sebagai terra nullius dan karena itu Inggris bisa mendakunya secara gratis.

Model kolonialisme dan imperialisme yang sama dilakukan terhadap Amerika.

Ketika penjelajah Inggris menemukan Amerika mereka serta merta menjadikannya sebagai koloni, tanah jajahan.

Keberadaan ratusan ribu suku Indian dengan berbagai kabilah diabaikan dan dianggap tidak ada.

Kolonialis dan imperialis Inggris bahkan melakukan genosida, pembantaian besar-besaran terhadap penduduk asli Amerika.

Salah satunya dengan senjata biologi dalam bentuk penyakit menular cacar air.

Bagi bangsa Eropa cacar air bukan penyakit mematikan kendati penyakit itu pernah menjadi pagebluk yang mematikan jutaan orang.

Bangsa Eropa kemudian mengalami ‘’herd immunity’’ kekebalan kelompok, karena sudah terbiasa menghadapi virus itu.

Ketika mereka menjajah Benua Amerika wabah itu mereka bawa dan mereka tularkan kepada pribumi penduduk asli.

Ratusan ribu orang tewas di Amerika Utara dan Amerika Selatan akibat wabah itu.

Jumlah korban pagebluk jauh lebih besar ketimbang jumlah korban perang melawan invasi orang kulit putih.

Jumlah penduduk asli di Amerika nyaris punah dan sekarang menjadi minoritas sangat kecil.

Mereka juga mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dan hak-haknya tidak diakui. Hal yang sama terjadi di Australia.

Orang Aborigin yang bertahan hidup menjadi korban diskriminasi sampai sekarang.

Penjajah Inggris melakukan pembersihan etnis melalui program reedukasi.

Anak-anak Aborigin diambil paksa dari keluarganya dan dididik dengan model pendidikan Eropa.

Cara ini dilakukan untuk menjadikan penduduk asli itu lebih beradab, karena hal itu merupakan kewajiban bangsa kulit putih yang merasa punya peradaban tinggi.

Itulah prinsip ‘’White’s Man Burden’’ yang menjadi justifikasi kolonialisme dan imperialisme.

Orang kulit putih merasa punya kewajiban untuk menjadikan penduduk pribumi lebih beradab, dengan cara menjajah mereka dan mendidik mereka dengan standar orang kulit putih.

Australia kemudian menjadi wilayah koloni dan tempat buangan para narapidana dari Inggris.

Mereka inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penduduk kulit putih di Australia.

Dengan kualitas ala narapidana ini Australia sangat beruntung bisa menjadi ‘’negara maju’’ seperti sekarang.

Itulah sebenarnya yang oleh Donald Horne disebut sebagai ‘’The Lucky Country’’.

Bukan pujian tetapi justru lebih dekat ke sindiran. Sebagaimana orang yang selamat dari kecelakaan karena mujur, Australia sekaang maju karena nasib mujur.

Kualitas sumber daya manusia Australia adalah kualitas kawe dua. Begitu kata Donald Horne.

Tidak ada manusia kelas satu yang menjadi elite politik dan pemerintahan Australia.

Karena itu, kalau Australia bisa makmur seperti sekarang hal itu benar-benar sebuah kemujuran dari kecelakaan sejarah.

Australia adalah negara Barat yang berada di Asia.

Selama ratusan tahun Australia lebih merasa menjadi bagian dari Eropa daripada bagian Asia, meskipun secara geografis ada di Asia.

Karena itu muncul gerakan republikanisme untuk menjadikan Australia sebagai republik yang terpisah dari Kerajaan Inggris. Tapi gerakan ini tidak populer.

Sepak bola bukan olahraga populer di Australia, kalah jauh dari rugbi dan kriket.

Satu lagi olahraga terkenal yang khusus dimainkan di Australia yang disebut sebagai Australian Football atau ‘’Aussie Rules’’.

Olahraga ini merupakan perpaduan dari rugbi, basket, dan sepak bola dimainkan oleh 18 pemain dalam satu tim dengan lapangan berbentuk oval dan gawang terbuat dari dua tiang yang tingginya tidak terbatas.

Sepak bola Australia mirip dengan sepak bola Amerika Serikat, mulai digemari tetapi tetap menjadi olahraga nomor tiga.

Kompetisi Australia pun masih kalah kelas dari Jepang dan Korea.

Keberhasilan Australia lolos ke babak kedua Piala Dunia kali ini, bisa menjadi bukti bahwa Australia adalah ‘’The Lucky Country’’. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler