jpnn.com - Penerima Nobel perdamaian 1996 Jose Ramos Horta merekomendasikan sanksi penuh kepada junta militer Myanmar.
"Berikan sanksi penuh atau menyeluruh kepada junta militer Myanmar dalam hal senjata militer ataupun keuangan," ujar Jose Ramos Horta saat menghadiri diskusi virtual "Southeast Asian Region Hall on Myanmar", Kamis (8/4).
BACA JUGA: Telur Paskah Jadi Simbol Perlawanan Rakyat terhadap Militer Myanmar
Sanksi penuh kepada junta militer Myanmar harus didukung oleh negara-negara anggota ASEAN, ujar mantan presiden Timor Leste itu.
Ia menyerukan kepada negara-negara barat, ASEAN, maupun China untuk bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan yang saat ini terjadi di Myanmar.
BACA JUGA: Myanmar Makin Mencekam, Tentara Berondong Demonstran, Ledakan di Mana-Mana
Ramos Horta juga mengutuk keras perlakuan junta militer Myanmar terhadap penerima Nobel perdamaian 1991 Aung San Suu Kyi.
"Akui pemerintahan terpilih yang memenangkan Pemilu November lalu. Harus ada dialog untuk memulihkan pemerintah terpilih itu serta situasi di Myanmar," kata dia.
BACA JUGA: China Kembali Alami Lonjakan Kasus COVID-19, Ada Kaitannya dengan Myanmar
Pada 1 Februari, junta militer Myanmar melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Junta militer Myanmar mengklaim partai Suu Kyi melakukan kecurangan dalam pemilu November 2020.
Menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), sebanyak 581 orang, termasuk puluhan anak-anak, telah ditembak mati oleh pasukan dan polisi dalam kerusuhan yang berlangsung hampir setiap hari sejak kudeta, dan pasukan keamanan telah menangkap hampir 3.500 orang, dengan 2.750 orang di antaranya masih tertahan.
Di antara mereka yang ditahan adalah Suu Kyi dan tokoh-tokoh terkemuka di partai Liga Nasional untuk Demokrasi, yang memenangkan pemilihan pada November tahun lalu yang dibatalkan oleh kudeta tersebut.
Kemampuan gerakan anti kudeta yang sebagian besar dipimpin oleh pemuda untuk mengatur kampanye dan berbagi informasi melalui media sosial dan pesan instan telah dilumpuhkan oleh pembatasan internet.
"Myanmar telah runtuh secara bertahap ke dalam jurang informasi sejak Februari. Komunikasi sekarang sangat terbatas dan hanya tersedia untuk beberapa orang," kata Alp Toker, pendiri observatorium pemblokiran internet NetBlocks, kepada Reuters. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil