jpnn.com, JAKARTA - Studi Demokrasi Rakyat (SDR) menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah masih menjadi pro dan kontra dalam pembahasannya di DPR RI.
Meskipun saat ini sedang terjadi perlambatan ekonomi dunia, prioritas utama negara dan bangsa saat ini adalah bagaimana seluruh elemen masyarakat bergotong royong, memanfaatkan semua energi dan kinerja masing-masing untuk penanganan pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Omnibus Law Ciptaker Jadi Jawaban Perbaikan Ekonomi Setelah Pandemi Covid-19 Berakhir
“Tentu pemerintah mempunyai agenda-agenda kerja yang diprioritaskan setelah Covid-19 ini, sebut saja terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Ketika semua hal terkait Omnibus Law Cipta kerja ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa ini, why not, let's do it,” ujar Direktur Eksekutif SDR Hari Purwanto di Jakarta, Kamis (16/4).
Tapi jika sebaliknya, lanjut Hari, tentunya pemerintah harus bijak mengkaji itu semua. “Prinsipnya kami dukung kebijakan pemerintah selama dalam koridor idealisme untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan hanya kepada pengusaha,” katanya.
BACA JUGA: Gerindra: Pemerintah Tergesa-Gesa Susun Omnibus Law, Bikin Curiga
Hari menyatakan, ada sebelas klaster yang dimaksud dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Dari sebelas klaster tersebut, sepuluh di antaranya sudah selesai dibahas. Satu klaster yang masih alot pembahasannya adalah klaster ketenagakerjaan.
Menurutnya, Indonesia saat ini mengalami obesitas regulasi yang akhirnya mencegah pemerintah bertindak cepat dalam merespon perubahan dunia. "Obesitas regulasi itu membuat kita terjerat dalam aturan yang kita buat sendiri, terjebak dalam kompleksitas,” ucapnya.
BACA JUGA: PKS Tak Berdaya Menunda Pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja
Dalam setiap pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR RI, kata Hari, tujuannya mencari titik temu terbaik dalam sebuah produk Undang-undang, dan dibahas secara transparan dengan melibatkan pakar dan kelompok masyarakat sebagai stakeholder.
“Kemudian yang tak kalah penting ketika RUU ini sah menjadi UU tentunya sosialisasi menjadi sebuah keharusan. Bukan hanya sekedar pelengkap, namun agar rakyat paham dan mengerti hak dan kewajibannya di setiap produk UU yang dikeluarkan,” tuturnya.
Hari juga menilai, jika bangsa ini mau maju dan menjadi bangsa yang juara, maka posisi tenaga kerja dan pengusaha harus dibuat seadil-adilnya. “Bukan berat sebelah, apalagi membuat salah satu pihak dirugikan. Di negara-negara maju, mereka punya sistem perburuhan yang kuat dan profesional, tentu ini bisa diadopsi,” ungkapnya.
Pendekatanya, kata Hari, sudah tidak bisa lagi hanya dari satu sisi pengusaha atau pemodal saja, sementara terkesan pekerja kita hanya sebagai karyawan yang tidak punya hak untuk ikut menjadi bagian dari usaha yang dibangun.
“Khusus hal ini pemerintah harus punya formulasi khusus, jangan hanya undang investor, atau pengusaha, pemodal untuk investasi, sementara anak-anak bangsa ini yang menjadi pekerja tidak dipikirkan masa depannya,” tegasnya.
Karenanya, perlu ada formulasi yang saling menguntungkan yang harus dirancang bersama antara DPR dan Pemerintah, agar produk UU ini menjadi harapan cerah bagi bangkitnya ekonomi Indonesia kedepannya.
“Hikmah dari adanya bencana Covid-19 adalah semua komponen bangsa ini bersatu, bersama-sama, bergotong royong, menanggalkan kepentingan kelompok dan hanya bekerja untuk NKRI,” pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil