Tiga Alasan Fadli Zon Menolak Wacana Pemberlakuan New Normal

Rabu, 03 Juni 2020 – 17:45 WIB
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon berkicau di media Sosial Twitter, menanggapi rencana pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, memperbolehkan 102 wilayah kabupaten/kota di tanah air menerapkan kebijakan “New Normal”.

Menurut Fadli, kebijakan tersebut sangat mencemaskan, karena secara epidemiologis Indonesia masih berada dalam zona merah pandemi.

BACA JUGA: MUI DKI Terbitkan Fatwa tentang Salat Jumat di Era New Normal

Belum terlihat tanda-tanda kenormalan. Hal yang terlihat justru ketidakjelasan seperti berjalan di tengah kegelapan.

Sebagai catatan, anggota dewan berdarah Sumatera Barat ini terlebih dahulu memaparkan sebuah catatan. Indonesia berada di urutan ke-19 dunia, dalam hal penambahan kasus baru Covid-19.

BACA JUGA: Update Corona 3 Juni: Ada Kabar Baik dari Yurianto

"Menurut data WHO angka penularan virus, atau ‘reproduction rate’ (RO) Corona di Indonesia adlh 2,5, artinya satu penderita bs menulari 2,5 orang. Tingkat penularan ini tergolong tinggi," twit @fadlizon, Rabu (3/6).

Fadli kemudian memaparkan tiga alasan wacana dan kebijakan New Normal dianggap buruk.

BACA JUGA: KPK Soroti Kinerja Anies Baswedan

"Pertama, otorisasi dan organisasi pengambilan keputusannya kacau. Pandemi ini oleh Pemerintah telah ditetapkan sebagai bencana nasional, di mana strategi yg dipilih untuk mengatasinya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)," twit @fadlizon.

Fadli mengatakan, menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020, penetapan PSBB ini kewenangannya dipegang Kementerian Kesehatan.

Namun, otorisasi New Normal, yang dalam praktiknya bisa disebut sebagai bentuk pelonggaran terhadap PSBB, dipegang oleh Gugus Tugas.

"Ini membuat organisasi pengambilan keputusan jadi tak jelas. Hasilnya sudah bisa kita lihat. Dari 102 wilayah yang diperbolehkan New Normal oleh Gugus Tugas, misalnya, tak ada satupun kota di Jawa yg masuk rekomendasi, kecuali Tegal," kicau Fadli.

Anehnya, kata Fadli kemudian, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sudah mengumumkan per 1 Juni kemarin ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan New Normal.

"Ini kan jadi kacau otorisasinya! Kedua, datanya ‘misleading’. Pemerintah mengklaim angka reproduksi Covid-19 Indonesia sudah berada di angka 1,09. Dalam standar WHO, angka ini bisa dianggap terkendali," kicau @fadlizon.

Masalahnya, angka yang digunakan pemerintah, menurut Fadli, angka yang ada di DKI Jakarta.

Karena itu ia menilai, menggunakan tren perbaikan R0 dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan New Normal di level nasional, ‘misleading’.

"Lagi pula, meskipun di atas kertas data Covid-19 di DKI trennya cenderung membaik, data itu tetap harus dilihat secara kritis," kicau @fadlizon.

Ia kemudian memaparkan data dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Disebut, dua minggu terakhir tingkat penularan Covid-19 di DKI Jakarta memang turun.

Pada 31 Mei lalu, angkanya berkisar antara 0,89 hingga 1,22.

Cuma masalahnya, tren penurunan penting dihubungkan dengan dibukanya keran mudik alias pulang kampung oleh pemerintah menjelang lebaran kemarin.

Fadli pun lantas memaparkan data dari PT JASAMARGA. Tercatat ada 465.582 kendaraan keluar dari Jakarta dalam rentang waktu H-7 hingga H-1 sebelum lebaran kemarin.

Dari jumlah tersebut, menurut Polda Metro Jaya hanya sekitar 25 ribu kendaraan yang bisa dihalau untuk putar balik.

"Artinya, secara de facto terjadi arus mudik pada lebaran kemarin. Sehingga, tren penurunan kasus baru dan tingkat penularan Covid-19 di DKI belum menggambarkan kondisi normal yang sesungguhnya," kicau @fadlizon.

Menurut anggota Komisi I DPR ini, saat kasus di DKI menurun, di Surabaya justru terjadi ledakan jumlah penderita Covid-19. Membuat Surabaya sejak Rabu (3/6) bukan hanya zona merah, tetapi sudah menjadi zona hitam, saking besarnya jumlah penderita Covid-19 yang ada.

"Artinya, melandainya kurva DKI saat ini bisa jadi disebabkan karena angkanya kini terdistribusi ke daerah melalui peristiwa mudik atau pulang kampung tadi," twit @fadlizon.

Fadli kemudian memaparkan alasan ketiga, yaitu basis data yang tak proporsional.

Ia kemudian mengutip data Worldometer. Disebutkan, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki tingkat pengujian terburuk di antara negara-negara yang paling terpengaruh Covid-19.

Disebut, pemerintah Indonesia sejauh ini hanya bisa melakukan 967 tes untuk setiap 1 juta penduduk. Berbeda jauh dengan Amerika Serikat yang melakukan 46.951 tes untuk setiap satu juta penduduk.

Kemudian Singapura yang mencapai 57.249 tes per satu juta penduduk, atau Malaysia yang berada di angka 16.083 tes per 1 juta penduduk.

Menurut Fadli, untuk urusan perbandingan tes corona, Indonesia masih berada di urutan 96 dari 100 negara dengan kasus terbanyak.

Indonesia hanya berada di atas Afghanistan, Sudan, Pantai Gading, dan Nigeria.

Ia juga menyatakan, WHO menganjurkan syarat minimal pemeriksaan Covid-19 adalah 1 orang per 1.000 penduduk per minggu. Artinya, jika penduduk Indonesia 273 juta, berarti per pekan seharusnya ada 273 ribu tes atau seharusnya sudah melakukan 3.276.000 tes dalam 12 pekan terakhir sejak kasus Covid-19 pertama ditemukan awal Maret lalu.

"Kalau meniru pola Korea Selatan, yang melakukan tes terhadap 0,6 persen penduduk, maka dengan jumlah penduduk 273 juta, kita seharusnya sudah melakukan tes terhadap 1.638.000 orang," kicau @fadlizon.

Kenyataannya, kata Fadli kemudian, berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, hingga 2 Juni kemarin baru 237.947 orang yang telah menjalani pemeriksaan Covid-19 pada laboratorium yamg aktif di seluruh Indonesia. Jumlah yang sangat kecil dan tidak proporsional.

Dalam catatannya, Fadli menyebut hanya DKI Jakarta yang bisa memenuhi kriteria minimal sebagaimana diminta WHO. Yaitu. tes 1 orang per 1.000 penduduk. Dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa, jumlah tes Covid-19 di DKI sudah lebih dri 120 ribu. Artinya, lebih bagus dri syarat minimal yang ditetapkan WHO.

"Jadi, dengan jumlah tes nasional yang sangat tidak proporsional tersebut, menggaungkan wacana “New Normal” menurut saya sebuah langkah spekulatif membahayakan," katanya.

Fadli juga menyatakan, dari sisi pengambilan keputusan, wacana New Normal tidak banyak melibatkan pertimbangan kalangan profesi kesehatan. Wacana tersebut lebih banyak didikte kalangan pengusaha. Padahal, bencana yang dihadapi saat ini bencana kesehatan.

Menurut Fadli, pemerintah seharusnya percaya pada sains serta menggunakan data yang akurat serta proporsional, dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Apalagi, New Normal menurutnya, istilah akademis, sehingga keputusan mengenai hal tersebut juga berpijak di atas data-data ilmiah. Bukan atas harapan, apalagi atas dasar kepentingan sekelompok orang.

"Jangan sampai kebijakan ini hanya uji coba trial and error yang menjadikan rakyat sebagai 'kelinci percobaan'. Sangat disayangkan kalau proses perumusan kebijakan publik oleh Pemerintah masih bertumpu pada keajaiban daripada kalkulasi saintifik," twit @fadlizon.(gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler