Tiga Alasan Imparsial Menolak Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme

Kamis, 04 Maret 2021 – 21:50 WIB
Pasukan TNI. Ilustrasi Foto: Antara via Reuters

jpnn.com, JAKARTA - Lembaga pemantau HAM Imparsial menyatakan langkah finalisasi rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme amat berbahaya.

Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai pemerintah tidak mengindahkan berbagai catatan kritis dan masukan publik terhadap muatan rancangan peraturan tersebut.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Info Terbaru Kasus Kematian 6 Laskar FPI, IPW Minta Kapolri Mundur, Nasib Abu Janda

“Jika dipaksakan pengesahannya, akan membahayakan kehidupan demokrasi, HAM, dan sistem penegakan hukum,”  ujar Gufron di Jakarta, Kamis (4/3).

Menurutnya, ada sejumlah permasalahan dalam rancangan peraturan tersebut. Pertama, soal pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme cukup hanya atas dasar perintah presiden.

BACA JUGA: Pemerintah Coba Cegah Terorisme dan Radikalisme dengan Perpres Nomor 7 Tahun 2021

“Ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI yang mengatur pengerahan TNI harus berdasarkan keputusan politik negara,” sambung Gufron.

Kedua, soal anggaran penanganan terorisme yang disebutkan bisa bersumber dari APBD dan sumber lain di luar.

BACA JUGA: Dua Minggu, Densus 88 Antiteror Sikat 20 Terduga Teroris di Jatim

Dia mengatakan, hal itu bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI yang menyatakan anggaran militer harus sentralistik dan bersumber dari APBN.

Ketiga, menurutnya, rancangan perpres tersebut memberikan kewenangan terlalu luas dan berlebihan kepada TNI untuk fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan.

Hal itu dikhawatirkan akan berpotensi pelanggaran HAM dan menimbulkan masalah impunitas dan akuntabilitas TNI.

"Apalagi pemerintah urung merevisi UU Peradilan Militer sehingga TNI memiliki peradilan sendiri dan tidak tunduk pada peradilan umum,” tegasnya.

Gufron juga menyoroti fungsi penangkalan dalam peraturan itu  yang berpotensi menjadi pasal karet dan multitafsir.

Pasalnya, dalam fungsi itu dijelaskan soal “operasi lainnya” selain operasi intelijen, teritorial, dan informasi. Dia khawatir itu berpotensi disimpangkan dan disalahgunakan untuk melakukan operasi yang melanggar HAM.

“Jika pemerintah melibatkan TNI dalam mengatasi terorisme, militer harus terlebih dahulu tunduk pada sistem peradilan umum,” ujarnya.

Dia meminta pemerintah mereformasi sistem peradilan militer yang merupakan amanat Reformasi 1998 seperti termuat dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 dan UU TNI sebelum melibatkan TNI dalam penanganan terorisme. (flo/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler