Tiga Dimensi Anies

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 25 Mei 2022 – 18:30 WIB
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Foto: Ryana Aryadita Umasugi/JPNN.com

jpnn.com - Suatu masa ketika gagasan menjadi penting. Ketika kita hidup dengan kesibukan kerja, kerja, kerja.

Membangun segala yang bersifat fisik, mulai dari jalan tol, pelabuhan, bandara, waduk, pabrik-pabrik untuk segala macam industri, sampai membangun ibu kota baru. 

BACA JUGA: DPD Demokrat Sebut Elektabilitas Anies Bakal Merosot Bila tak Punya Partai

Kita menjadi lupa bahwa ada yang tidak kalah penting ketimbang sekadar membangun. 

Kita menjadi lupa bahwa gagasan sangatlah penting, karena gagasan memberi kelengkapan kepada dimensi manusia. 

BACA JUGA: Dear Anies Baswedan, Ada Saran Nih dari Kadernya AHY

Manusia bukan sekadar bentuk fisik, tetapi manusia juga punya unsur materi, spritualitas, gagasan, ide-ide.

Semua perubahan besar yang terjadi di dunia, semua perubahan yang kita alami sebagai bangsa, adalah hasil dari sebuah gagasan. 

BACA JUGA: Masuk Bursa Pj Gubernur Pengganti Anies, Irjen Fadil Imran: Saya tidak Berminat, Catat Itu!

Bermula dari seseorang, atau sekelompok kecil orang, lalu pelan dan pasti merambat ke banyak orang, dan kemudian menjadi sebuah gerakan besar yang masif yang membawa kepada perubahan besar, sebuah kemerdekaan.

Indonesia adalah sebuah gagasan. Indonesia bukan sekadar sebuah wilayah dengan batas geografis, dengan penduduk, dan dengan pemerintahan, sebagaimana yang kita fahami mengenai definisi sebuah negara.

Lebih dari itu, Indonesia adalah sebuah gagasan dari sebuah negara bangsa. Sulit membayangkan sebuah negara-bangsa yang lahir tanpa gagasan.

Nasionalisme, yang menjadi ruh negara bangsa, adalah sebuah gagasan. Nasionalisme adalah gagasan yang abstrak, yang hanya bisa kita bayangkan dalam sebuah bayang-bayang imajinasi. 

Bahwa kita semua--masyarakat yang membentang dari Miangas sampai ke Pulau Rote—adalah sebuah bangsa yang punya cita-cita bersama, sebuah cita-cita yang hanya ada dalam imajinasi kita, dalam gagasan-gagasan kita. Itulah yang menyatukan kita menjadi bangsa.

Ben Anderson menyebutnya sebagai ‘’Imagined Community’’, Komunitas Terbayangkan.

Disebut demikian karena para anggota bangsa--dalam komunitas terkecil pun--tidak akan tahu dan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, dan bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka.

Indonesia adalah sebuah gagasan. Ketika pada awal 1920 sekelompok anak muda mahasiswa yang belajar di Rotterdan dan Den Haag yang dipelopori oleh Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjoningrat memutuskan untuk memakai nama Indonesia sebagai ganti Hindia Belanda, saat itulah sebuah gagasan besar telah lahir.

Lahirlah ‘’Perhimpunan Indonesia’’, sebuah gagasan besar untuk menjadikan wilayah jajahan Hindia Belanda menjadi wilayah merdeka dengan nama Indonesia. Dari Perhimpunan Indonesia kemudian lahirlah Sumpah Pemuda pada 1928.

Sumpah itu mempersatukan anak-anak muda dari wilayah-wilayah yang berserakan menjadi satu entitas yang disatukan oleh bahasa, bangsa, dan tanah air yang satu, Indonesia.

Gagasan-gagasan besar itulah yang kemudian memberi kekuatan kepada Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan para founding parents kita untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945.  

Para founding fathers Indonesia adalah para pejuang cum intelektual. Mereka bertarung dengan perjuangan fisik, tetapi mereka juga berjuang dan bertarung melalui gagasan-gagasan.

Itulah yang membuat Indonesia menjadi negara besar. Dengan keluasan wilayah yang masif dan dengan kekayaan alam yang melimpah Indonesia akan menjadi negara besar yang disegani bangsa-bangsa di seluruh dunia. 

Itulah yang disebut sebagai potentiality, kekuatan potensial yang tersembunyi yang harus diubah dengan kerja menjadi actuality. 

Di sinilah pentingnya sebuah leadership, kepemimpinan, dari seorang pemimpin yang bisa mentransformasi potensialitas bangsa menjadi aktualitas nyata.

Bung Karno menggagas ‘’nation and character building’’, membangun bangsa dan karakter bangsa.

Membangun bangsa adalah membangun birokrasi, infrastruktur politik yang kokoh sebagai prasyarat pembangunan nasional. 

Pembangunan karakter adalah membangun manusia Indonesia yang lengkap antara dimensi lahiriah dan spritualitas, inteleketualitas, dan budaya sebagai sumber dari gagasan-gagasan besar untuk pembangunan.

Sepeninggalan Bung Karno gagasan-gagasan besar tidak sepenuhnya mati, tapi direduksi menjadi sebuah kerja fisik yang disebut sebagai pembangunan. 

Bung Karno gagal karena terpeleset dengan memberi perhatian yang berlebih terhadap pembangunan politik. Politik sebagai panglima membuat pendekatan pembangunan nation and character building menjomplang dan tidak berimbang.

Orde Baru Soeharto lahir sebagai koreksi. Akan tetapi, yang terjadi adalah pergeseran pendulum dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya. 

Developmentalism ala Soeharto menggeser politik ke pinggiran dan memberi porsi terlalu besar kepada pembangunan ekonomi.  

Itulah yang menjadi salah satu faktor kegagalan Orde Baru. Pembangunanisme telah mereduksi gagasan dan menjadikannya mati.

Aristoteles membagi dimensi manusia menjadi tiga; making (membuat), doing (mengerjakan), dan knowing (memahami). Dimensi ‘’making’’ adalah kerja membuat sesuatu dari tidak ada menjadi tidak ada. 

Dari tidak ada bandara menjadi ada bandara. Dari tidak ada tol menjadi ada tol, dari tidak ada pelabuhan menjadi ada pelabuhan. Itulah dimensi making, membuat, kerja tukang.

Dimensi ‘’doing’’ melibatkan pertimbangan moral dan etika. Apakah pembangunan melibatkan semua orang secara demokratis dan memenuhi hak-hak manusia sebagai objek pembangunan. 

Kalau membangun hanya sekadar menggusur karena tidak sesuai dengan master plan, kalau membangun hanya sekadar mengusir karena tanah itu akan dijadikan waduk atau jalan tol, maka pembangunan adalah kerja ‘’making’’ tetapi tidak ‘’doing’’ karena dimensi moral dan etika yang hilang.

Dimensi ketiga adalah knowing. Disinilah gagasan menjadi penting. Knowing adalah proses untuk mendapatkan knowledge, pengetahuan.

Di sinilah intelektualitas menjadi penting. Karena dengan intelektualitas, gagasan bisa muncul dan kemudian diwujudkan dengan making dan dilengkapi dengan doing. Lengkaplah manusia dengan tiga dimensi itu.

Bangsa Indonesia sudah terlalu lama tereduksi dari tiga dimensi itu, dan kita rindu menunggu setetes air untuk menghilangkan dahaga itu.

Kepemimpinan Anies Baswedan selama satu periode di Jakarta menjadi sebuah oase dari kekeringan panjang itu.

Anies seorang ‘’maker’’. Dia membangun. Anies seorang ‘’doer’’, dia tidak sekadar menggusur tetapi memanusikan manusia. Pembangunan harusnya membebaskan, bukan mengancam, menggusur, dan merendahkan.

Anies juga seorang knower. Dia menjadikan knowledge untuk melakukan knowing. Pengetahuannya, intelektualitasnya melahirkan gagasan-gagasan besar yang orisinal.

Ketika hajatan politik 2024 semakin mendekat, banyak kandidat yang sibuk mengejar populatritas dan elektabilitas, lalu mengabaikan inlektualitas yang menjadi sumber gagasan. Para kandidat sibuk mengejar rating survei dengan proyek pencitraan setiap hari.

Anies mengedepankan intelektualitas dan tidak sekadar mengeksploitasi popularitas dan elektabilitas.  

Ada tipe manusia yang bekerja tanpa gagasan, mirip tukang. Ada pula yang banyak gagasan tapi tidak bisa bekerja alias omdo bin NATO, omong doang, no action talk only. Yang lebih parah lagi ada tipe manusia yang tidak bisa kerja dan tidak pernah punya gagasan.

Anies bekerja dengan gagasan dan mewujudkan gagasannya dengan bekerja. 

Anies ialah perpaduan antara man of ideas dan man of action, manusia gagasan dan manusia kerja. 

Jakarta International Stadium (JIS) adalah paduan gagasan dan kerja. Balapan Formula E adalah wujud nyata dari sebuah gagasan brilian dan visioner. 

Kampung Akuarium adalah manifestasi dari gagasan dan kerja. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler