jpnn.com, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) membeberkan penyebab kerugian yang dialami pada semester I 2020 mencapai Rp 11 triliun.
Penjelasan itu disampaikan saat Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dan jajaran, rapat dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (31/8).
BACA JUGA: Pertamina Rugi karena Faktor Fundamental dan Beban Sosial Terlalu Tinggi
"Tadi semua sudah sepakat soal (membahas masalah) kerugian Rp 11 triliun. Sesudah itu baru pendalaman, silakan Bu Dirut (Nicke)," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Ramson Siagian yang memimpin rapat.
Diwakili Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini, dijrlaskan bahwa ada triple shocks yang dialami Pertamina, seperti yang sudah sering disampaikan.
BACA JUGA: Oknum Pejabat Daerah Asyik Begituan dengan Sekretaris, Ups! Kamera Laptop Lupa Dimatikan
"Pertama, memang sangat signifikan menghantam kami punya P and L (profit and loss) dan cash flow kami adalah terkait penurunan sales (penjualan)," kata Emma.
Menurut Emma, pada masa pandemi Covid-19 terjadi penurunan permintaan signifikan, yang menyebabkan revenue atau pendapatan sangat terdampak.
BACA JUGA: Iwan Fals Mengomentari Kerugian Pertamina dan PLN
"Jadi, berapa pun crude price itu sangat rendah dan juga karena demand tidak ada berdampak pada revenue kami. Ini yang menyebabkan P and L kami sangat terdampak khususnya di Kuartal II," ungkap Emma lagi.
Ia menjelaskan, sebetulnya Kuartal II atau April ini berada di posisi terdalam.
Namun, kalau dilihat dari posisi sales, April menuju Mei sudah ada peningkatan. Pun demikian Mei ke Juni sudah meningkat tujuh persen.
"Terakhir kami closing di Juli itu sudah meningkat lima persen," katanya menambahkan.
Emma melanjutkan, ini terlihat bahwa tren sudah mulai positif kalau dibanding dengan posisi di Juni 2019 yang menurun tajam kurang lebih 26 persen ke April 2020.
"Terlihat Mei, Juni, Juli, itu sudah ada tren peningkatan terhadap sales. Nah, ini barangkali sangat terdampak pada revenue kami," ungkapnya.
Kedua, terkait dengan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat atau USD.
Emma menjelaskan posisi kurs rupiah pada Desember 2019 adalah Rp 13.900 per 1 USD. Menurutnya, pada Juni 2019 sampai akhir 2020 itu nilai tukar rupiah relatif stabil.
Namun, memasuki Kuartal II 2020 kurs rupiah sangat fluktuatif.
"Kami terdampak sekali karena buku kami dalam US dolar sementara revenue kami dalam rupiah. Kami belanja crude dalam US dolar," katanya.
Jadi lanjutnya, kondisi ini membuat makin terpukul dari berbagai dampak. Dari sisi revenue turun, kemudian selisih kurs sangat terdampak sekali.
"Kita lihat selisihnya sangat tajam sekali, sempat di posisi Maret (2020) itu Rp 16.367 (per USD 1). Kalau dibanding Desember 2019 itu Rp 13.900 (per USD 1). Ini menyebabkan secara buku kami mengalami rugi selisih buku yang sangat tajam," jelas Emma.
Ketiga, pelemahan Indonesia Crude Price atau ICP. Menurut Emma, di satu sisi hilir sedikit terdampak terhadap keuntungan tetapi sebetulnya tidak juga karena di persediaan atau inventory Pertamina jadi menumpuk.
"Kalau kita lihat posisi April, Mei, itu Avtur kami stoknya bisa sampai untuk 400 hari. Solar juga sama. Semua terdampak dan itu memakan menjadi inventory cost sementara revenue tidak ada. Jadi kami tidak enjoy terhadap penurunan harga ICP," katanya.
Sementara itu, di kilang Pertamina mengonsumsi harga crude yang masih mahal karena ada lagging dua tiga bulan ke belakang.
Menurut dia, pada April 2020 harga terendah ICP ialah USD 21 per barel, tetapi kilang Pertamina masih mengonsumsi crude price yang harganya USD 57 per barel.
"Secara pembukuan, harga pokok masih mahal tetapi harga jual sudah harga rendah. Karena harga jual sudah mengikuti harga ICP yang sudah terkini. Jadi, itu ada selisih dari sisi lagging waktu," kata Emma.
Anggota Komisi VII DPR M Nasir lantas meminta penjelasan apakah pembelian atau impor minyak Pertamina berkurang atau tidak dalam kondisi tersebut?
Menurut Emma, bahwa benar sekali pembelian atau impor Pertamina berkurang. "Terlihat dari total BPP, pembelian crude juga berkurang."
Lebih lanjut Emma menjelaskan terkait dengan penurunan crude ini maka pada Mei dan Juni, itu Pertamina sudah mulai menikmati.
"Di mana harga crude price-nya masih rendah padahal ICP di Mei, Juni, sudah merangkak naik. Jadi, kelihatan nanti ada perbaikan dari sisi postur P and L kami di mulai Bulan Juni ke depan," ujar dia.
Kalau dilihat postur pendapatan 2019, maka dari 2019 ke April 2020 itu turun tajam sekali sampai 57 persen.
Kendati demikian, kata dia, mulai Mei 2020 laba Pertamina arusnya positif tetapi kumulatifnya masih negatif.
"Terlihat mulai merangkak naik dari sisi pendapatan dari Mei ke Juni, dari Juni ke Juli, ada tren positif. Barangkali Juli, Agustus dan selanjutnya harus disikapi dan jangan sampai positivity rate Covid-19 naik sehingga terjadi pengetatan kembali," harapnya.
Menurut Emma, kalau ada pengetatan kembali maka sangat terdampak pada profil revenue Pertamina. "Karena sales volume akan mengalami penurunan kembali."
Lebih lanjut Emma menjelaskan dari sisi beban pokok dan beban langsung lainnya. Ini salah satunya terkait impor crude san kalau dilihat di sini juga menurun.
"Karena demand menurun, tadi disampaikan terminal-terminal kami penuh, inventory penuh semua sudah tidak bisa lagi membeli karena tidak ada penjualan karena demand menurun. Ini juga menurun 51 persen sampai hingga posisi Juli dari sisi beban pokok," pungkas Emma. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy