jpnn.com - jpnn.com - Satu per satu bermunculan kasus yang melibatkan sejumlah tokoh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Profesionalitas Polri menjadi taruhan dalam proses hukum tersebut.
Setidaknya, ada tiga orang dari GNPF yang didera kasus hukum. Yakni, Habib Rizieq, Bachtiar Nasir dan Munarman.
BACA JUGA: Catat, Ini Jadwal Sidang Perdana Praperadilan Munarman
Dari ketiganya, Rizieq yang paling banyak dijerat hukum, setidaknya ada empat kasus yang dilaporkan atas nama Imam Besar FPI tersebut.
Kasus paling menonjol adalah kasus dugaan penghinaan terhadap Pancasila yang ditangani Polda Jawa Barat, dimana Habib Rizieq menyebut bahwa sila pertama diposisikan paling pantat.
BACA JUGA: Habib Rizieq: Setop Kriminalisasi Ulama
Habib Rizieq sempat mengklarifikasi maksud peryataannya tersebut.
”Yang saya maksud itu paling pantat paling buncit atau paling akhir. Itulah yang Proklamator Soekarno ajukan, tapi kemudian diubah posisinya menjadi paling pertama,” ungkapnya, seperti diberitakan Jawa Pos.
BACA JUGA: Pesan Menyejukkan Bachtiar Nasir
Kasus lain yang menjeratnya adalah kasus penistaan agama dalam sebuah video dimana Rizieq membahas soal hari raya natal.
Lalu, ada juga kasus logo palu arit yang dikatakannya ada dalam uang rupiah baru, serta kasus dugaan penghinaan terhadap Kapolda Metro Jaya.
Rata-rata laporan terhadap kasus tersebut dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat.
Untuk Bachtiar Nasir, kasus yang menjeratnya adalah dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam penggalangan dana aksi 411 dan 211. Belum diketahui dengan pasti pidana semacam apa yang terjadi dalam kasus tersebut.
”semua ini masih digali. Yang pasti, nanti bukti yang akan berbicara,” ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigjen Agung Setya.
Kasus yang menjerat Munarman, juru bicara FPI juga cukup unik. Kasus tersebut dilaporkan pada Januari 2017 untuk kejadian dugaan penghinaan terhadap pecalang Bali, yang disebut Munarman melempari masjid.
Munarman menyebut kejadian tersebut saat melakukan protes ke salah satu media pada Juni 2016. Artinya, waktu kejadian enam bulan sebelum dilaporkan.
Direktur Eksekutif Partnership for Advancing Democracy and Integrity (PADI) M. Zuhdan menjelaskan, dalam era semacam ini, kebenaran bukan lagi menjadi otoritas dari kekuasaan, tetapi tasiran akan kebenaran ada pada individu masing-masing.
”Ya, sesuai dengan isi kepala masing-masing,” ungkapnya.
Publik saat ini mengalami sebuah hiper realitas, dimana susah membedakan mana informasi yang asli dan yang palsu.
Dalam kasus Habib Rizieq, Bachtiar Nasir dan Munarman itu publik kebingungan menilai apakah kasus itu benar atau bohong.
Sehingga, publik masih menyangsikan kebenaran atas kasus tersebut.
”Sekalipun selama ini Polri memiliki otoritas kuasa wacana untuk mengatur mana pihak yang salah dan tidak berdasar hukum negara,” paparnya.
Bahkan, kalau diperkecil segmentasi publiknya, yaitu kalangan aliansi gerakan Islam yang pro aksi 411 dan 212, maka kasus-kasus itu sama sekali tidak berpengaruh.
Bahkan, mereka menganggap kasus itu merupakan rekayasa untuk menjerat sejumlah orang.
”Persepsi menjerat ulama kian menguat dengan adanya isu pendataan terhadap pesantren dan tokohnya,” ujarnya.
Dengan semua itu, yang muncul justru semua kasus yang menjerat tokok GNPF itu merupakan ujian untuk profesionalitas Polri.
Apakah Polri bisa menunjukkan bukti kuat adanya pelanggaran hukum. ”Kalau tidak ya, profesionalitas itu yang akan diuji,” paparnya.
Bahkan, lanjutnya, sejumlah kalangan menilai bahwa jeratan hukum pada GNPF ini mirip sekali dengan kejadian beberapa tahun lalu.
Dimana saat itu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sempat dijerat sejumlah kasus. ”Hampir sama yang dengan polemik saat itu,” ujarnya.
Sementara Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Mabes Polri Brigjen Rikwanto menuturkan, yang pasti tidak ada kriminalisasi dalam kasus-kasus tersebut.
Sebab, memang ada pelapor, ada bukti dan keterangan ahli yang mendefinisikan adanya pidana atau tidak.
”Kontruksi hukumnya memang masuk, ini rangkaian hukum yang sudah dilaporkan,” paparnya.
Untuk kasus Habib Rizieq, dia mengatakan bahwa terkait hukum itu siapapun harus patuh.
Sekaligus, siap dengan sanksi hukum bila memang melanggar. ”Jangan terpengaruh provokasi, kalau patuh hukum harusnya didukung,” jelasnya.
Demikian pula soal kasus dugaan TPPU, Saat ini sedang dilakukan pendalaman untuk melihat apakah ada penyelewengan dalam kasus tersebut. ”Fakta hukumnya sedang digali,” paparnya. (idr)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingat, UBN Berpesan agar Umat Islam Tidak Benci Polisi
Redaktur & Reporter : Soetomo