Tim Pansus Otsus Papua Serap Aspirasi Sampai ke Jayapura

Selasa, 04 Mei 2021 – 19:32 WIB
Foto: Humas DPR

jpnn.com, JAYAPURA - Otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, telah dilaksanakan selama hampir 20 tahun.

Pemberian otonomi khusus tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain di Indonesia.

BACA JUGA: Demokrat Papua Mengkritisi Revisi UU Otsus dan Pelabelan Teroris untuk KKB

Demikian diungkapkan Ketua Tim Kunjungan Kerja Tim Pansus DPR RI RUU Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Yan Permenas Mandenas.

Yan Permenas mengungkap hal itu  saat menggelar pertemuan dengan Gubernur Papua (diwakili Sekda), Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Pangdam XVII/Cenderawasih, Danlantamal X, Danlanud Silas Papare, Kabinda Provinsi, Kapolda, Kejati, Ketua PN, Kakanwil Kumham, para bupati dan wali kota se-provinsi Papua, pimpinan DPRD kabupaten/kota se-provinsi Papua di Jayapura, Senin (3/5).

BACA JUGA: Sidang Paripurna DPD RI Membahas Sejumlah Agenda Termasuk Otsus Papua

"Dana otonomi khusus juga telah banyak dikucurkan untuk mendukung pelaksanaannya," kata Yan Permenas.

"Hingga tahun 2021, total dana otsus dan dana tambahan infrastruktur yang dialokasikan untuk Papua sejak tahun 2002 sebesar Rp 100,96 triliun. Namun demikian, kemajuan Papua cukup lambat dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan provinsi lainnya," imbuhnya.

BACA JUGA: DPR RI Dukung Ketahanan Pangan dengan Prinsip Kelestarian

Politisi Gerindra ini menambahkan tingkat buta huruf di Papua masih yang tertinggi yaitu sebesar 29%.

Sementara itu, tingkat partisipasi anak sekolah di Papua juga terendah yaitu 76,18%, sedangkan rata-rata angka partisipasi murni nasional 95,73%.

Begitu juga tingkat harapan hidup paling rendah juga ada di Papua (65 tahun).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua juga paling rendah yaitu 57,65%, sementara rata-rata nasional 69,53%.

Tingkat kemiskinan paling tinggi juga ada di Papua yaitu 28,94%.

"Kondisi tersebut memunculkan ketidakpuasan dan dapat menimbulkan gejolak di Papua. Ada kekhawatiran kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau pun kelompok separatis lainnya untuk merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata legislator asal Bumi Cenderawasih ini.

Dia juga menyoroti isu atau berita hoaks yang menjelek-jelekan Indonesia telah melanggar hak asasi manusia Papua dan tidak menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyat Papua yang beredar di dunia internasional.

"Permasalahan ini perlu mendapat perhatian semua karena dapat mengancam stabilitas wilayah Papua sehingga pembangunan menjadi terhambat," tuturnya.

Mewakili Gubernur Papua, Sekretaris Daerah Papua, Dance Yulian Flassy mengatakan Pemerintah Daerah Papua berharap Otonomi Khusus akan membawa kemajuan dan perkembangan masyarakat Papua yang lebih sejahtera.

Sesuai arahan Presiden, perlu lompatan baru untuk akselerasi pembangunan dan mengajak seluruh elemen masyarakat Papua dalam proses pembangunan.

"Otonomi khusus yang sudah berjalan 20 tahun diharapkan mampu mendorong pembangunan infrastruktur yang memadai serta kemajuan sumberdaya manusia Orang Asli Papua (OAP) melalui pendidikan formal yang menjangkau seluruh pelosok Papua," kata Dance.

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengatakan salah satu permasalahannya adalah penyusunan RUU Otonomi Khusus Papua dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan aspirasi Orang Asli Papua.

"Bahkan ada tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengamputasi kewenangan pemerintah daerah. Ada sekitar 24 kewenangan dari kesepakatan otonomi khusus yang belum dijalankan (diberikan) oleh pemerintah pusat," kata Timotius.

Pihaknya menambahkan perlunya dibuka ruang dialog antara pemerintah pusat dengan orang asli Papua dengan rekomendasi dari MRP.

Dia juga meminta rapat koordinasi bersama MRP/MRPB, DPRP/DPRPB dengan DPR RI sebelum melakukan perubahan RUU Otonomi Khusus.

"Tidak perlu buru-buru dalam proses perubahan RUU karena menyangkut hajat hidup masyarakat Papua," katanya.

Tim Kunker Pansus DPR RI Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dipimpin Yan Permenas Mandenas (Gerindra) diikuti oleh Marthen Douw (PKB), Mohammad Idham Samawi, Darmadi Durianto, Masinton Pasaribu (PDIP), Lodewijk F. Paulus, Trifena M. Tinal (Golkar), Sulaeman L Hamzah (Nasdem), Willem Wandik (Demokrat) dan Junaidi Auly (PKS). (*/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler