Namun penelusuran tim independen justru mengungkap hal yang bertolak belakang dengan versi polisi. Tim independen yang terdiri dari sejumlah aktivis antikorupsi seperti Haris Azhar, Alexander Lay, Nurcholis Hidayat, Taufik Baswedan, Edwin Partogi dan Emerson Junto ini justru menyimpulkan tidak ada yang tahu tentang polisi yang menembak tersangka pencurian sarang walet di Bengkulu itu.
"Tapi ini masih laporan sementara," kata Haris Azhar melalui rilis kepada wartawan, Sabtu (13/10). Menurutnya, Tim Independen terkendala dengan sikap tertutup pihak-pihak yang dimintai informasi.
"Untuk keperluan keamanan, maka sumber dan lokasi yang dikunjungi dirahasiakan di laporan ini. Kecuali untuk pihak otoritas hukum yang memiliki kesesuaian atas fakta dan temuan," sambungnya.
Dalam rilisnya itu Hariz membeberkan kronologis yang diperoleh tim independen terkait penangkapan enam orang pelaku pencuri sarang burung walet tersebut. Menurut Haris, pada saat peristiwa 18 Februari 2004, Kompol Novel baru empat hari menjabat sebagai Kasat Reskrim Polresta Bengkulu.
Saat itu, sebut Haris, Novel dan beberapa anggotanya sedang berada di ruangan Kasat Reskrim untuk melakukan ekspos perkara korupsi. Menjelang apel malam sekitar pukul 21.00 WIB, tutur Haris, ada informasi dari petugas piket Reskrim bahwa pelaku pencurian burung walet yang terjebak di dalam gedung walet tertangkap tangan oleh masyarakat. Novel yang menjadi Kasat pun langsung mengambil tindakan.
" Seluruh personel yang ikut apel malam diminta oleh Novel agar pergi ke tempat kejadian perkara (TKP). Hal ini bertujuan untuk membantu mengamankan TKP dan tersangka. Saat itu, petugas piket Reskrim yang ke TKP yakni, MT, S, K, WK, D, R dan K. Sementara itu, Novel tidak ikut berangkat," papar Haris.
Di tempat kejadian perkara (TKP), polisi mengamankan seluruh tersangka dan barang bukti (BB) untuk dibawa ke Mapolresta Bengkulu. Saat di TKP, petugas Reskrim juga menghubungi Aliang, pemilik sarang burung walet, dan memintanya untuk datang.
Ternyata enam tersangka pencurian yang selamat dari amuk massa itu justru tak selamat dari tangan anggota kepolisian. Di Mapolresta Bengkulu, keenam tersangka mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan hampir semua personel Polres yang ada saat itu.
"Keenam tersangka tersebut selanjutnya diperiksa dan kemudian di-BAP oleh petugas piket Rekrim. Saat pemeriksaan, keenam tersangka mengalami tindakan kekerasan oleh anggota Reskrim. Selain itu, pada Rabu malam itu hampir seluruh perwira Polresta Bengkulu datang ke Mapolresta, seperti kapolres, wakapolres, dan kabag operesional," kata Haris.
Pada saat pemeriksaan oleh piket Reskrim, ada kesepakatan dari Tim Buser yang dipimpin anggota polisi berinisial AS, untuk melakukan pengembangan. Selanjutnya, ada pembagian tugas, yakni sebagian petugas piket melakukan pengembangan ke tempat lain dan sebagian membawa keenam tersangka ke Taman Wisata Alam Pantai Panjang.
Personel yang ikut ke Pantai Panjang antara lain MT beserta anggota piket Reskrim, serta AS dan seluruh anggota Buser. Sedangkan Novel, YS, dan dua orang lainnya menyusul setelah tim pertama itu berangkat.
Sesampainya di pantai, menurut Haris, Novel dan salah seorang rekannya turun dari mobil untuk bergabung dengan tim yang terlebih dahulu datang. Ketika baru turun, mereka mendengar teriakan "ada yang lari, ada yang lari" yang disusul suara tembakan. Setelah situasi reda, ternyata keenam tersangka mengalami luka tembak di bagian kaki.
"Dikarenakan situasi yang gelap, tidak ada yang tahu siapa yang menembak siapa. Selanjutnya, Novel memerintahkan para tersangka dibawa ke Rumah Sakit Bayangkara untuk mendapatkan visum. Di lokasi sendiri, terdapat empat mobil buser dan puluhan polisi termasuk dari Polsek yang berada didekat pantai," terang Haris.
Setelah dilakukan visum, keenam tersangka dibawa kembali ke Mapolresta Bengkulu. Saat di Mapolres, para tersangka kembali mengalami tindakan kekerasan. Salah satu tersangka, Mulyan atau Johan atau Aan (almarhum), akhirnya terjatuh ke anak tangga dari lantai dua ke lantai satu. Petugas kemudian mengangkat Mulyan dan kembali melarikannya ke Rs Bhayangkara.
"Besok harinya, 19 Februari 2004, tersiar kabar tersangka Mulyan akhirnya meninggal dunia di Rs Bayangkara," sambungnya.
Kronologis ini tentu saja berbeda dengan yang diungkapkan kepolisian. Polisi menyebut Novel termasuk yang melakukan penembakan terhadap enam pelaku, hingga Aan tewas. Dalam hal penganiayaan, tak disebutkan bahwa enam pelaku ini menerima aksi kekerasan oleh sejumlah oknum kepolisian.
Kini Tim independen masih menunggu hasil keseluruhan investigasi di lapangan untuk mengungkapkan kebenaran peristiwa itu. Sedangkan hasil sementara ini telah diserahkan pada Komnas HAM untuk diteliti dan ditindaklanjuti.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Promosikan Indonesia dengan Mendaki Gunung
Redaktur : Tim Redaksi