jpnn.com - JAKARTA - Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti mengatakan, Tim Transisi yang dideklarasikan Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan blunder sebanyak tiga kali. Salah satunya soal sumber biaya atau dana tim transisi yang hingga kini belum diungkap.
"Melihat besarnya cakupan kerja, sekretariat yang mentereng dan kemungkinan banyaknya pelibatan orang di dalamnya serta masa kerja yang lumayan panjang (sekitar dua bulan), sudah dapat diduga biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit," kata Ray Rangkuti, Minggu (10/8).
BACA JUGA: Jokowi Diminta Pertimbangkan Kepala Daerah Berprestasi
Menurutnya, diperlukan biaya besar untuk melancarkan seluruh aktivitas tim transisi. Sayangnya, kata dia, Jokowi, sekali ini terlihat agak enggan untuk transparan soal besaran dan sumber dananya.
"Bersikap tidak transparan, tentu akan menimbulkan pertanyaan yang berujung negatif. Oleh karenanya, ada baiknya bila Jokowi kembali memelopori semangat transparansi tersebut. Sekalipun misalnya hal itu terkait dengan dana internal," sarannya.
BACA JUGA: Dipecat, Yorrys Tuding karena Kubu Ical Panik
Berikutnya, kata dia, aktivitas tim tersebut terlihat lebih banyak soal struktur atau bahkan mungkin personalia kabinet. Pembatasan yang tidak tegas soal hak dan wewenang tim itu untuk masuk ke ranah kabinet, dinilainya menimbulkan kesan itu adalah tim bayangan kabinet.
"Sehingga ada baiknya Jokowi mulai secara aktif memfungsikan tim transisi untuk kerja-kerja yang semestinya. Yakni untuk koordinasi dengan pemerintahan yang tengah berjalan dan inventarisasi berbagai persoalan kebangsaan untuk dicarikan solusinya," ujar Ray.
BACA JUGA: Meski Menyatakan Menarik Diri, Prabowo-Hatta Berhak Menggugat
Blunder selanjutnya adalah pengangkatan mantan Kepala Badan Intelejen Negara AM Hendropriyono sebagai penasihat tim transisi.
"Langkah ini blunder yang mencemaskan. Karena seolah memberi peluang pada aktor-aktor yang memiliki catatan kurang postif pada upaya yang tak boleh berhenti bagi penegakan dan penghormatan HAM," tegasnya.
Dikatakannya, masa depan Indonesia adalah masa depan dimana HAM selalu menjadi isu utama. Sehingga, tokoh-tokoh yang tidak memiliki kepekaan terhadap persoalan HAM, sebaiknya ditinggalkan.
"Jokowi sejatinya memahami efek negatif dari sinisme publik atas tokoh-tokoh yang di masa lalunya dikenal tidak terlalu peduli pada penegakan dan penghormatn HAM. Bukankah Jokowi mendapat simpati justru karena dinilai tidak memiliki catatan buruk soal HAM, baik di masa lalu maupun sekarang," terangnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Survei SMRC: Politik Indonesia Berjalan ke Arah yang Benar
Redaktur : Tim Redaksi