MAKASSAR -- Kisruh Pilkada Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang berujung perusakan sejumlah kantor instansi di Kota Palopo diduga terjadi karena tindakan preventif kepolisian yang sangat lemah. Polisi dianggap tidak mampu memetakan potensi-potensi konflik yang terjadi sebelum bentrokan.
Hal itu diungkapkan oleh dosen sosiologi politik Universitas Hasanuddin, Dr Rahmat, Minggu 31 Maret, tadi malam. Menurutnya, pada dasarnya potensi kisruh politik terjadi pada tiga komponen penyelenggaraan pemilu. Mulai dari persiapan pemilihan, pelaksanaan dan pasca pemilihan. Potensi-potensi ke kisruhan ini, kata dia, tidak berhasil di identifikasi oleh kepolisian. "Makanya, tindakan preventif atau pencegahan tidak terjadi disana," jelas Rahmat.
Dia mengatakan, pada dasarnya, sinyalemen akan terjadinya kisruh sudah terbaca beberapa hari sebelum rapat pleno perhitungan suara. Di berbagai media massa sudah terbaa potensi itu. Sayangnya, polisi tidak mengambil sikap untuk segera melakukan tindakan pencegahan.
"Mungkin saat bentrokan terjadi polisi sudah melakukan pengamanan sesuai protap. Tapi sensitifitasnya untuk melakukan pencegahan sebelum bentrokan itu tidak ada," jelas dia.
Dia menambahkan, kekuatan personel yang banyak tidak menjamin terciptanya kondisi keamanan yang kondusif. Menurutnya, polisi yang profesional harusnya dapat melakukan pencegahan sebelum bentrokan terjadi. Dari kejadian itu, sensifitas intelejen kepolisian dipertanyakan.
"Kalau sudah bentrok mau diapalagi. Mau menembak juga salah. Polisi seharusnya dari awal sudah melakukan pencegahan. Polisi di Palopo itu harus di evaluasi kinerjanya. Untuk apa ada dana kalau tdk aman?" kata dia.
Dia menambahkan, sulitnya melakukan pencegahan juga tidak terlepas dari kewibaan kepolisian. Oleh karena itu, Rahmat menyarankan kepada kepolisian untuk segera melakukan perbaikan. Salah satunya adalah dengan menunjukkan posisi yang netral. Setelah itu, polisi baru bisa melakukan pengamanan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) mereka.
"Dia (polisi) harus bisa tunjukkan posisi yang netral. Setelah itu, baru bisa melakukan pengamanan sesuai tupoksinya. Kenapa masyarakat berani membakar" mungkin karena tidak ada kewibaan polisi disana," jelas Rahmat.
Rahmat juga menyinggung sikap sebagian warga kota Palopo yang belum bisa berdemokrasi dengan sehat. Menurutnya, jika ada proses yang salah, seharusnya kandidat yang bersangkutan mengumpulkan bahan dan dokumen yang salah itu untuk diadukan ke jalur hukum.
"Pilkada jangan dijadikan sebagai suana bar-bar. Ini menciderai demokrasi kita. Apapun namanya, ada mekanisme hukum untuk menyelesaikan persoalan itu. Bukan dengan membakar," jelasnya. (eka)
Hal itu diungkapkan oleh dosen sosiologi politik Universitas Hasanuddin, Dr Rahmat, Minggu 31 Maret, tadi malam. Menurutnya, pada dasarnya potensi kisruh politik terjadi pada tiga komponen penyelenggaraan pemilu. Mulai dari persiapan pemilihan, pelaksanaan dan pasca pemilihan. Potensi-potensi ke kisruhan ini, kata dia, tidak berhasil di identifikasi oleh kepolisian. "Makanya, tindakan preventif atau pencegahan tidak terjadi disana," jelas Rahmat.
Dia mengatakan, pada dasarnya, sinyalemen akan terjadinya kisruh sudah terbaca beberapa hari sebelum rapat pleno perhitungan suara. Di berbagai media massa sudah terbaa potensi itu. Sayangnya, polisi tidak mengambil sikap untuk segera melakukan tindakan pencegahan.
"Mungkin saat bentrokan terjadi polisi sudah melakukan pengamanan sesuai protap. Tapi sensitifitasnya untuk melakukan pencegahan sebelum bentrokan itu tidak ada," jelas dia.
Dia menambahkan, kekuatan personel yang banyak tidak menjamin terciptanya kondisi keamanan yang kondusif. Menurutnya, polisi yang profesional harusnya dapat melakukan pencegahan sebelum bentrokan terjadi. Dari kejadian itu, sensifitas intelejen kepolisian dipertanyakan.
"Kalau sudah bentrok mau diapalagi. Mau menembak juga salah. Polisi seharusnya dari awal sudah melakukan pencegahan. Polisi di Palopo itu harus di evaluasi kinerjanya. Untuk apa ada dana kalau tdk aman?" kata dia.
Dia menambahkan, sulitnya melakukan pencegahan juga tidak terlepas dari kewibaan kepolisian. Oleh karena itu, Rahmat menyarankan kepada kepolisian untuk segera melakukan perbaikan. Salah satunya adalah dengan menunjukkan posisi yang netral. Setelah itu, polisi baru bisa melakukan pengamanan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) mereka.
"Dia (polisi) harus bisa tunjukkan posisi yang netral. Setelah itu, baru bisa melakukan pengamanan sesuai tupoksinya. Kenapa masyarakat berani membakar" mungkin karena tidak ada kewibaan polisi disana," jelas Rahmat.
Rahmat juga menyinggung sikap sebagian warga kota Palopo yang belum bisa berdemokrasi dengan sehat. Menurutnya, jika ada proses yang salah, seharusnya kandidat yang bersangkutan mengumpulkan bahan dan dokumen yang salah itu untuk diadukan ke jalur hukum.
"Pilkada jangan dijadikan sebagai suana bar-bar. Ini menciderai demokrasi kita. Apapun namanya, ada mekanisme hukum untuk menyelesaikan persoalan itu. Bukan dengan membakar," jelasnya. (eka)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi Akui Kerusuhan Palopo di Luar Prediksi
Redaktur : Tim Redaksi