jpnn.com - Ratusan warga eks Timor Timur saat ini masih bertahan di bekas kamp pengungsian di Belu NTT. Di seantero NTT, diperkirakan masih ada ribuan yang belum memiliki KTP.
BAYU PUTRA, Belu
BACA JUGA: SD Negeri Berdinding Seng, Lantai Tanah, Ini di Indonesia!
HANYA ada satu ranjang dengan alas tidur berupa tikar di rumah itu. Sebuah kotak besar tempat menyimpan pakaian dan timba besar untuk menaruh perkakas tampak di salah satu sudut.
Selama hampir dua dekade, di rumah yang lebih tepat disebut gubuk itulah Lukas Alves tinggal. Dengan mengandalkan pekerjaan mencari kayu di hutan. ”Bila beruntung, dalam sehari bisa dapat 60–70 ikat kayu. Kalau segitu, bisa bawa uang Rp 70 ribu,” katanya.
BACA JUGA: Satu Kelas 2 Siswa, tak Tahu Presiden RI Bernama Jokowi
Dengan segala keterbatasan itu, tak sekali pun Lukas menyesali keputusannya pada 1999: meninggalkan Timor Timur (kini Timor Leste), memilih jadi warga negara Indonesia.
Dia menolak kembali ke bekas provinsi 27 Indonesia yang kini telah menjadi negara merdeka itu. Bahkan, dia sudah beberapa kali mengikuti pemilu. Dia masih menyimpan kartu pemilih yang digunakan untuk pilgub NTT pada 2008. ”Saya orang Indonesia,” tegasnya.
BACA JUGA: Tanggap Darurat Atasi Dampak Lumpur Lapindo di Balikpapan
Lukas adalah satu di antara ratusan WNI eks Timor Timur (Timtim) yang masih bertahan di Kamp Haliwen. Kamp tersebut hanya sepelemparan batu dari Bandara AA Bere Tallo, Atambua, ibu kota Belu.
”Dulu waktu registrasi pengungsi di seluruh NTT, jumlahnya sekitar 23 ribu KK (kepala keluarga),” terang Agus Tinho Pinto, anggota DPRD Kabupaten Belu yang juga WNI eks Timtim, saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di Belu.
Saat ini ada ratusan warga yang masih tinggal di kamp seluas 50 hektare tersebut. Sementara itu, puluhan ribu lainnya tersebar di beberapa kabupaten di NTT. Terutama yang dekat perbatasan dengan Timor Leste.
Dulu mereka disebut pengungsi eks Timtim. Sekarang mereka sering disebut warga baru. Namun, mereka sejatinya lebih senang bila disebut WNI (warga negara Indonesia) kelahiran Timor Timur.
Sayang, hampir dua dekade setelah memilih meninggalkan kampung halaman, nasib para warga eks Timtim tidak banyak berubah. Sebab, mayoritas memang tidak memiliki keahlian lain di luar bercocok tanam.
Bahkan, Agus menduga masih ada sekitar 10 ribu WNI kelahiran Timtim yang belum memiliki KTP. Itulah yang kini jadi salah satu fokus perjuangan Agus lewat kedudukannya di parlemen.
Agus mengklaim baru saja memperjuangkan anggaran untuk pemberian KTP dan KK bagi para warga eks Timtim yang belum memiliki kartu identitas itu. ”Sebelumnya, KTP mereka adalah KTP Timtim,” katanya.
Agus adalah contoh warga eks Timtim yang berhasil mengubah nasib. Dulu pria kelahiran Dili, 6 juni 1970, tersebut juga tinggal di Kamp Haliwen pascareferendum 1999. ”Kami tidak bisa berkembang di situ karena Kamp Haliwen merupakan tanah negara,” ujarnya.
Sampai sekarang pun, mereka yang memilih bertahan di Kamp Haliwen harus hidup dalam keprihatinan. Rumah mereka hampir sama semua: dinding dari pelepah sagu, atapnya dari seng.
Ada pula yang atapnya masih berupa terpal karena tidak mampu membeli seng. Para mantan petani itu kebanyakan bekerja di kebun atau mengambil hasil hutan. Ada yang menjadi tukang ojek. Sebagian lagi yang membawa modal saat mengungsi membeli tanah untuk dijadikan sawah.
Agus kemudian nekat keluar dari kamp dan mulai mencari tanah di seantero Atambua. Akhirnya, dia bertemu seorang tuan tanah di Desa Manleten, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu.
Awalnya si tuan tanah menawarkan tanahnya seharga Rp 100 juta untuk 15 hektare. Setelah bernegosiasi, akhirnya disepakati harga Rp 60 juta plus Rp 10 juta untuk mengurus administrasi pertanahan. Setelah deal, Agus bersama warga datang untuk babat alas.
Agus kemudian mengajukan proposal kepada Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Responsnya positif. Bahkan, TNI ikut memberikan bantuan. Total ada 300 rumah yang dibangun lewat bantuan dua instansi tersebut. Baik berupa rumah jadi maupun bahan bangunan.
Nama Agus otomatis melambung. Hingga pada 2008 dia ditawari menjadi anggota Partai Gerindra. Di Pemilu Legislatif 2014, ayah enam anak itu pun sukses menembus DPRD Belu.
Dengan duduk di parlemen, dia lebih leluasa memperjuangkan nasib para WNI kelahiran Timtim di Belu. Selain perkara KTP, dia meminta anggaran untuk pemberantasan buta aksara di Belu dialihkan untuk pendidikan. Salah satunya membuka sejumlah PAUD.
Permintaannya bukan tanpa alasan. Sebab, rata-rata sasaran pemberantasan buta aksara itu merupakan warga senior yang mayoritas sudah melewati usia emas. Ketimbang membuang anggaran untuk mereka, lebih baik membiayai pendidikan usia dini.
Yang menjadi persoalan, banyak warga eks Timtim di NTT yang tidak memiliki dokumen kependudukan sama sekali. Kartu keluarga tertinggal di Timtim saat eksodus. Selain itu, tidak sedikit warga yang tinggal di pelosok yang jauh dari kecamatan. Karena itu, pemerintah harus melakukan jemput bola untuk perekaman data warga.
Selain Agus, ada seorang lagi eks Timtim yang berhasil menjadi legislator di DPRD Belu. Sedangkan di DPRD provinsi, Angelino Da Costa jadi satu-satunya yang sukses masuk parlemen lewat Partai Amanat Nasional.
Pada masa-masa genting seputar referendum, Angelino turut angkat senjata bersama TNI melawan kubu pro kemerdekaan. ”Jadi, saya ini satu dari 404 orang yang masuk daftar penjahat di Timor Leste,” terangnya.
Dampaknya pun terasa sampai sekarang. Saat para WNI eks Timor Timur sesekali masih bisa berkunjung ke tanah kelahirannya, dia tidak bisa. Sebab, bila masuk ke Timor Leste, sudah pasti dia bakal ditangkap.
”Yang tidak banyak diketahui orang, pemerintah Timor Leste masih mengklaim warga baru itu sebagai rakyatnya yang keluar sementara karena alasan keamanan,” tutur ayah tiga anak tersebut saat ditemui di Kupang.
Seperti Agus, Angelino berusaha keras membantu para warga eks Timtim. Bahkan, dia mengklaim perjuangannya itu juga didukung konstituennya yang warga asli NTT.
Dia berharap pemerintah pusat segera menerbitkan sebuah produk hukum yang melegitimasi seluruh WNI eks Timtim sebagai rakyat Indonesia. Levelnya pun minimal setara keppres karena berkaitan dengan klaim sebuah negara.
Namun, hingga saat ini, harapan tersebut belum terwujud. Maka, satu-satunya jalan adalah menyuarakannya melalui DPR di Jakarta. Dan, satu-satunya tokoh yang diharapkan bisa menembus senayan adalah Ketua Umum Uni Timor Aswain (Untas) Eurico Guterres.
Pada 2014 Eurico maju sebagai caleg dari PAN. Sayang, mantan pejuang integrasi Timtim itu gagal. ”Nanti 2019 beliau maju lagi, namun melalui Perindo,” tambahnya.
WNI kelahiran Timtim, katanya, belum akan merasa tenang bila pemerintah belum membuat produk hukum yang memastikan status mereka sebagai WNI. Saat ini dia dan para aktivis Untas masih terus mendata warga eks Timtim yang memilih bertahan di Indonesia.
Sebab, pada dasarnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah bersedia memberikan berbagai bantuan seperti WNI pada umumnya. ”Namun, harus ada data yang valid agar bantuan benar-benar pas jumlahnya dan tepat sasaran,” katanya.
Bantuan, baik dari pemerintah maupun para wakil mereka di parlemen, sudah tentu ditunggu para warga eks Timtim. Termasuk oleh anak-anak di Kamp Haliwen yang pada sore di pertengahan Maret lalu itu asyik bermain di saat para orang tua sibuk memotong kayu. (*/c10/ttg)
Redaktur & Reporter : Soetomo