jpnn.com, JAKARTA - Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi.
Selain memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), perkawinan anak juga memengaruhi Indeks Kedalaman Kemiskinan.
BACA JUGA: Kasus Perkawinan Usia Anak di Kalsel, Menteri Yohana: Tolak!
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Lenny Rosalin mengatakan, siapapun calon pengantinnya, baik salah satu, maupun kedua mempelai yang masih berusia anak, merupakan bentuk pelanggaran hak anak. Pelanggaran hak anak juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Perkawinan anak, selain mengancam kegagalan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), juga memiliki korelasi yang postif dengan Indeks Kedalaman Kemiskinan," ujar Lenny, Sabtu (17/11).
BACA JUGA: Perkawinan Anak untuk Membayar Utang Ortunya
Dari segi pendidikan, pasti banyak anak yang putus sekolah karena sebagian besar anak yang menikah di bawah usia 18 tahun tidak melanjutkan sekolahnya. Perkawinan anak juga berdampak pada kesehatan ibu dan anak. Jika usia anak telah mengalami kehamilan, maka mempunyai resiko kesehatan yang lebih besar terhadap angka kematian ibu dan anak dibandingkan orang dewasa karena kondisi rahimnya rentan.
Sementara, dampak ekonominya adalah munculnya pekerja anak. Anak tersebut harus bekerja untuk menafkahi keluarganya, maka dia harus bekerja dengan ijazah, keterampilan, dan kemampuan yang rendah, sehingga mereka akan mendapatkan upah yang rendah juga,.
Peneliti sekaligus dosen Universitas Paramadina, Suraya mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak.
BACA JUGA: Ini 5 Provinsi dengan Persentase Perkawinan Anak Tertinggi
Antara lain ekonomi keluarga, utang keluarga yang dibebankan pada anak perempuan yang dianggap sebagai aset, pendidikan rendah, pendapatan rendah, interpretasi agama dan keluarga, serta stereotip pada anak perempuan. Fenomena lainnya yang menyebabkan tingginya angka perkawinan anak adalah tingginya tingkat kehamilan di kalangan perempuan muda.
Berbagai upaya dan strategi perubahan telah dilakukan KemenPPPA sejak 2010. Salah satu strategi yang dilakukan oleh KemenPPPA bersama The United Nations Population Fund (UNFPA) adalah melakukan pendokumentasian praktik terbaik terkait pencegahan perkawinan anak di 5 kabupaten di Indonesia, yakni Rembang, Gunung Kidul, Lombok Utara, Maros, dan Pamekasan.
Kelima kabupaten tersebut terpilih karena berbagai alasan, di antaranya mampu menekan masalah perkawinanan anak, memiliki angka perkawinan anak yang rendah dan praktik terbaik dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
Hasil pendokumentasian memperlihatkan bahwa kelima kabupaten tersebut memiliki komitmen yang tinggi dalam mencegah perkawinan anak, mulai dari tingkat pemerintah daerah hingga masyarakatnya.
Kabupaten Rembang, Gunung Kidul dan Lombok Utara menjadikan program pencegahan perkawinan anak menjadi salah satu prioritas daerah dan harus dilaksanakan oleh perangkat daerah sekaligus diperkuat oleh kelompok perlindungan anak yang dibentuk dari level desa hingga kabupaten.
Prioritas tersebut juga didukung dalam pengalokasian anggaran kegiatan perangkat daerah hingga desa. Kabupaten Rembang juga telah mengambil langkah koordinasi PUSPAGA dan Pengadilan Agama dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Rembang.
Terobosan yang sangat baik juga dilakukan oleh Kabupaten Pamekasan sebagai daerah religius dengan jumlah pesantren yang cukup banyak. Tokoh agama ikut menjadi aktor penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
Beberapa pesantren juga menambah satu tahun masa pembelajaran untuk menyelesaikan kitab yang berisi tentang pembelajaran keluarga. Sedangkan Kabupaten Maros terus berusaha mendorong kebijakan daerah terhadap perlindungan anak. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad