jpnn.com, JAKARTA - CEO & Co-Founder HAUS! Gufron Syarif berbagi tips agar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mampu naik kelas.
Menurutnya, UMKM naik kelas bukan hanya berarti naik segmen targetnya, tetapi juga skala usaha atau target pasarnya.
BACA JUGA: Pemda Dorong UMKM Memenuhi Syarat untuk Menjajakan Produk di WSBK
Oleh karena itu, jenis usaha yang dipilih tidak lagi berdasarkan selera atau insting, melainkan perlu mengandalkan riset pasar.
Ujar Gufron dalam webinar UMKM Bangkit, Ekonomi melejit yang diselenggarakan oleh PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna), bekerja sama dengan Bisnis Indonesia.
BACA JUGA: Sandiaga Ajak Sampoerna Berkolaborasi Mendukung UMKM dan Ekonomi Kreatif
“Dulu usaha ayam goreng dan rendang itu berdasarkan insting saja. Pola pikir itu harus diubah. Kalau kita ingin besar, kita harus tahu apa yang market butuhkan berdasarkan riset. Jadi, saya lakukan market research peta FnB di Indonesia dan luar negeri,” ujar Gufron.
Gufron menyebut sebelum mendirikan HAUS pada 2015, muncul kopi susu yang fenomenal dengan brand Tuku. Dengan toko seluas 4x8 meter, Tuku bisa menjual kopi hingga 1.000 cup sehari dengan harga Rp 15 ribu per cup.
BACA JUGA: PT IWIP Dukung Pengembangan UMKM di Maluku Utara
Namun, keyakinan untuk masuk ke segmen minuman kekinian bertambah dengan kehadiran layanan online delivery beberapa tahun terakhir.
"Mereka telah mengubah peta pasar FnB," ucap Gufron.
Bagi UMKM, kata dia, memanfaatkan saluran teknologi termasuk e-commerce merupakan suatu keharusan.
“Setelah Tuku, muncul brand toko lainnya. Artinya, saya harus belajar mengenai industri minuman grab and go. Sejak ada online delivery, pertumbuhan luar biasa. Saya pelajari market minuman kekinian dari China. Bahkan ada brand kopi dari Tiongkok yang mampu IPO (initial public offering) di Nasdaq di Amerika Serikat,” katanya.
Dia mengatakan ada yang menarik dari hasil riset pasar Tiongkok, di mana industri minuman bubble tea lebih besar daripada kopi. Di Indonesia pada 2015 yang sedang tren adalah kopi susu.
Alasannya, anak muda lebih suka minuman manis, sementara kopi lebih digemari orang dewasa.
“Saya pelajari seperti apa market Indonesia. Setelah itu, saya memutuskan masuk ke kategori boba (bubble tea). Karena modal terbatas, saya mulai dari kelas menengah ke bawah. Sekitar 45 persen penduduk Indonesia justru menengah ke bawah, tapi daya beli tidak sebaik menengah ke atas,” tambahnya.
Untuk itu, Gufron menyarankan UMKM yang ingin naik kelas bisa mulai dengan menyasar pasar menengah ke bawah karena belanja modal yang lebih kecil dibandingkan langsung ke pasar kelas menengah ke atas.
Pasalnya, kelas menengah ke atas sangat menuntut branding, kebersihan, dan lokasi yang luas sehingga butuh biaya yang lebih besar.
Toko pertama HAUS!, katanya, berlokasi di daerah Kemanggisan, di dekat kampus Binus dengan luas hanya 4x3 meter. Biaya sewa saat itu hanya Rp 4 juta sebulan atau setara dengan Rp 48 juta sebulan.
Berbekal modal minim, HAUS mulai berjalan.
“Setelah bisnis berjalan, saatnya melebarkan sayap ke pasar menengah ke atas, serta tampilan yang lebih bersih dengan alat yang lebih modern. Itu terwujud setelah HAUS! berdiri selama dua tahun,” jelasnya.
Kemudian, tips selanjutnya ialah ketika mendapatkan keuntungan, UMKM harus menginvestasikan lagi untuk mengembangkan usaha. HAUS!, misalnya, terus melakukan investasi karena berdasarkan riset, pasar minuman boba tumbuh delapan persen per tahun.
Hal penting lainnya, kata dia, tidak harus menyasar ke segmen kelas atas atau menengah. Jauh lebih penting ialah menjadi juara di kelas masing-masing. Dengan kata lain, yang lebih penting ialah bagaimana membesarkan usaha kita.
“Dari yang tadi tidak punya pembukuan, mulai tertib. Dari yang tadi tidak punya branding, cuma jual barang, sekarang sudah punya brand dikenal orang karena tiap segmen itu sama seksinya,” paparnya.
Gufron menambahkan, seiring waktu, dengan dana yang lebih besar, kepercayaan mulai muncul. HAUS! pun kemudian naik kelas tanpa meninggalkan market menengah ke bawah yang cukup besar. Ketika naik kelas, UMKM juga perlu menyediakan anggaran marketing sekitar lima persen dari omzet untuk membangun kesadaran secara online dan offline.
“Yang penting juga ialah tim atau organisasi. Saya mencoba mapping kekuatan dan kelemahan saya, sehingga merekrut orang yang punya kelebihan. Saya bikin tim, walaupun ada yang harus dibagi tapi itu tidak masalah karena usaha juga berkembang,” tegas Gufron. (mcr10/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul