Tips Jitu Agar Startup Terhindar dari PHK Massal

Senin, 20 Juni 2022 – 19:56 WIB
Fenomena krisis yang dihadapi startup saat ini tidak hanya karena permasalahan pendanaan. Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - CEO Grant Thornton Indonesia mengatakan Johanna Gani mengatakan fenomena krisis yang dihadapi startup saat ini tidak hanya karena permasalahan minimnya pendanaan.

Sebab, kondisi ekonomi masyarakat pun terbilang cukup baik dan kondisi pasar semakin pulih.

BACA JUGA: Isu PHK Massal Meresahkan, Bos Shopee Beri Penjelasan

Menurutnya, kendala justru terletak dari penggunaan dana operasional masing - masing startup.

“Perusahaan startup disarankan menggunakan protokol finansial internal, sesederhana dimulai dengan evaluasi keuangan dan memperbarui informasi kondisi finansial secara rutin," ungkap Johanna dalam keterangannya di Jakarta, Senin (20/6).

BACA JUGA: Fenomena PHK Massal Startup Tanah Air, Pakar Bilang Begini

Perusahaan rintisan atau startup di tanah air yang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawannya.

Setidaknya enam startup yang melakukan PHK yakni Tanihub, Zenius, LinkAja, Pahamify, JD.ID, dan MPL.

BACA JUGA: Viral PHK Massal, Kemnaker Panggil Manajemen SiCepat, Apa Hasilnya?

Oleh karena itu, Johanna menilai sangat penting bagi startup untuk menjaga arus informasi keuangan.

Hal itu penting untuk meminimalisir potensi kesalahan perencanaan dapat diantisipasi jauh hari sebelum keadaan keuangan makin buruk.

Selain itu, diperlukan juga strategi keseluruhan yang matang agar startup tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga tumbuh.

Dia mencontohkan seperti pertimbangkan inovasi dari sisi produk dan model bisnis serta di era post-pandemic ini.

"Perhatikan juga situasi dan kebiasaan target market yang mungkin berubah, mungkin saja ada strategi bisnis yang perlu disesuaikan untuk mengejar pertumbuhan optimal," ungkapnya.

PHK yang terjadi pada startup ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa startup internasional juga melakukan PHK besar-besaran tahun ini seperti Netflix dan Robinhood.

Sejumlah perusahaan teknologi rintisan (startup) Indonesia juga tengah menghadapi permasalahan yang dikenal sebagai fenomena “bubble burst”.

Mengutip laman Investopedia, fenomena ini merupakan kondisi bisnis yang cepat mengalami kenaikan, tetapi cepat mengalami penurunan.

Adanya fenomena pecahnya gelembung tersebut dikarenakan perusahaan startup sulit untuk mendapatkan pendanaan serta tidak mempunyai aset.

Padahal, untuk meraih pengguna kebanyakan dari startup harus melakukan strategi bakar uang seperti promosi melalui televisi, baliho, digital, program cashback, hingga diskon besar - besaran.

Ditambah lagi dengan The Fed yang juga melakukan kebijakan menaikkan suku bunga.

Investor-investor luar negeri cenderung menarik dana mereka dan memilih untuk menyimpan uang mereka daripada berinvestasi ke industri teknologi di Indonesia.

Hal ini berimbas pada semakin selektifnya investor dalam memberikan pendanaan kepada perusahaan rintisan (startup).

Menurut Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia (AFTEC) Rudiantara saat ini banyak modal ventura yang mulai beralih fokus di mana mulai melihat kinerja keuangan perusahaan dibanding melihat traction dari para startup ini.

Traction ialah melihat seperti jumlah pengguna atau pengunduh dan loyalitas pengguna terhadap jasa atau produk startup. Namun, terkadang untuk mencapai traction yang bagus, para startup ini melakukan berbagai cara salah satunya adalah dengan melakukan strategi bakar uang.

Dana yang disuntik besar bahkan hingga triliunan rupiah, tetapi hasilnya nihil, venture capital (VC) pun enggan menyuntikkan dananya lagi. Alhasil, tsunami besar pemutusan hubungan kerja (PHK) di startup pun mulai terjadi.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler