jpnn.com - JAKARTA - Pakar kependudukan yang juga peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) Muhadjir Darwin menyesalkan kasus dihapusnya data 21 ribu TKI asal Kabupaten Ponorogo Jawa Timur sebagai calon pemilih dalam pilkada 2015.
Menurutnya, hal itu menunjukkan pola pikir pemerintah daerah yang sangat administratif formal. Tidak bisa melihat secara lebih luas bahwa TKI memberi kontribusi positif bagi daerah asalnya dengan mendatangkan remitansi.
BACA JUGA: Politikus Golkar: Satu Keluarga sendiri Begini
"Hal ini sebagai salah satu kelemahan mendasar dari Sistem Informasi Administrasi Kependudukan atau SIAK. Tempat tinggal masih didefinisikan secara statis. Lupa bahwa penduduk yang berangkat modern itu dinamis. Kini semakin banyak penduduk Indonesia yang memiliki mobilitas tinggi, bahkan memiliki tempat tinggal lebih dari satu," ujar Muhadjir Darwin dalam keterangannya, Minggu (19/4).
Menurut pria bergelar profesor itu, hak penduduk untuk memilih jangan sampai dihilangkan hanya karena dia mengalami mobilitas. Mobilitas merupakan sesuatu yang positif bagi masyarakat. Jika saat pemilihan presiden hak TKI yang bekerja di luar negeri bisa diakomodasi, maka mengapa saat pilkada tidak bisa? Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan sistem administrasi kependudukan serta sistem pilkada yang bisa mengakomodasi mobilitas penduduk yang sangat variatif.
BACA JUGA: 2016, Kebijakan Pensiun Dini PNS Mulai Diterapkan
Selain itu, Muhadjir juga memberikan catatan terhadap adanya ketidakadilan bagi para pemilih dalam sistem pilkada. Peraturan Pemerintah Pengganti UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pasal 56 ayat 3 menyebutkan jika pemilih mempunyai lebih dari satu tempat tinggal, maka pemilih harus memilih salah satu tempat tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan e-KTP dan/atau surat keterangan domisili dari kepala desa atau sebutan lain/lurah.
Namun, ada perlakuan yang berbeda jika seseorang hendak maju mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota. Para calon dimungkinkan untuk mencalonkan diri di daerah yang bukan domisilinya. Hal ini terjadi saat Pilgub Jakarta 2012 yang lalu. Saat itu Joko Widodo masih menjabat sebagai walikota Solo, sementara Alex Noerdin sebagai gubernur Sumatera Selatan.
BACA JUGA: Ingatkan Pemerintah Antisipasi Potensi Ricuh Pembagian Kartu Sakti
"Seseorang dimungkinkan untuk menjadi calon kepala daerah di wilayah yang bukan domisilinya. Artinya, status kependudukannya bisa lebih dari satu tempat. Mengapa kemudian fleksibiltas ini tidak berlaku pula untuk para pemilih? Ada ketidakadilan yang sangat mendasar di situ," sebut Muhadjir.
Catatan berikutnya adalah tidak semua penduduk telah memiliki e-KTP. Bukan karena persoalan administrasi kependudukan yang belum terlayani, tetapi karena mereka berada di luar kategori yang berhak mendapatkan e-KTP. Misalnya, warga yang tidak memiliki tempat tinggal permanen seperti gelandangan.
Menurut peraturan, e-KTP atau surat keterangan penduduk merupakan syarat agar seseorang bisa mengikuti pemilihan. Artinya, belum semua penduduk memiliki hak untuk memilih. Ada yang tersisihkan karena kemiskinan dan status tempat tinggalnya.
Sebagai sistem yang mengolah data kependudukan dan catatan sipil di Indonesia, SIAK dinilai masih memiliki kelemahan. Kendati demikian, Muhadjir mengatakan, adanya SIAK dan e-KTP jelas membawa manfaat bagi masyarakat maupun pemerintah, terutama di dalam sistem pemilihan. (rus/RMOL)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Daftar Peserta KAA yang Bawa Jet Pribadi
Redaktur : Tim Redaksi