jpnn.com - Patok sudah dipercaya menjadi juru kunci makam Tumenggung Brotonegoro sejak 1995. Menjadi juru kunci ke-5, tongkat estafet diterimanya dari saudara jauh.
Seperti apa kisah penjaga makam mantan Bupati Ponorogo yang wafat ditembak Belanda lantaran membantu Pangeran Diponegoro tersebut?
BACA JUGA: Bersihkan Makam Malam Jumat, Jengkel pada Peziarah tak Sopan
DENI KURNIAWAN, Ponorogo
JALAN makadam sepanjang kurang lebih satu kilometer itu menjadi satu-satunya jalur menuju makam Tumenggung Brotonegoro.
Lantaran menanjak curam, jalan kaki adalah satu-satunya cara agar sampai ke makam yang berlokasi di puncak bukit Gombak, Desa Nglarangan, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo, Jatim itu.
Kendati demikian, langkah kaki Patok tampak ringan menapaki tanjakan dari tatanan batu tersebut. ‘’Sudah terbiasa naik turun di sini,’’ ungkap Patok.
Ya, Patok adalah juru kunci makam Tumenggung Brotonegoro. Naik turun bukit untuk mengantar peziarah sudah menjadi tanggung jawabnya. Tak urung, meski usia sudah berkepala enam, dua kakinya masih kuat dan lincah.
Nyaris tak ada napas terengah dihembuskannya di sepanjang jalanan sarat pohon jati itu. ‘’Itu namanya Pamungkas, tempat Tumenggung Brotonegoro wafat,’’ ungkapnya sembari menunjuk sebuah batu besar di semak belukar.
Sambil terus berjalan, bibir Patok tak henti berkisah tentang siapa itu Tumenggung Brotonegoro. Sejatinya, salah satu Bupati Ponorogo itu bukan merupakan penduduk Desa Nglarangan.
‘’Tumenggung Brotonegoro itu asli Polorejo, maka dari itu beliau biasa dijuluki Bupati Polorejo,’’ ujar ayah tiga anak itu.
Lantas, bagaimana ceritanya Tumenggung Brotonegoro bisa dimakamkan di puncak bukit Gombak, Desa Nglarangan? Patok menyebut penjajah Belanda menjadi penyebabnya.
Kala itu, sempat terjadi peperangan antara Tumenggung Brotonegoro beserta penggawanya melawan Belanda. ‘’Membantu Pangeran Diponegoro yang waktu itu melarikan diri ke Ponorogo,’’ ungkapnya.
Dua kali pertempuran itu terjadi di bumi reyog. Kali pertama, Tumenggung Brotonegoro beserta prajurit yang membantu Pangeran Diponegoro berhasil memukul mundur penjajah.
Namun, Belanda kala itu malah meminta bantuan ke Surakarta. Mendapat tambahan kekuatan, Ponorogo kembali diserang penjajah. ‘’Akhirnya kalah,’’ kata suami almarhumah Mistun itu.
Tumenggung Brotonegoro dan prajuritnya kocar-kacir diserang Belanda. Tidak terkecuali Tumenggung Brotonegoro sendiri yang terkena tembak di badannya.
Tumenggung Brotonegoro melarikan diri dengan menungganggi kudanya hingga ke Desa Nglarangan. ‘’Perang saat itu terjadi di daerah Badegan,’’ kata Patok.
Nah, di lokasi kaki bukit tepatnya di batu besar dengan sebutan Pamungkas tadi, Tumenggung Brotonegoro akhirnya mangkat.
Lantaran hal tersebut, Tumenggung Brotonegoro lantas dikebumikan di puncak bukit Gombak. Tidak terkeculai istrinya dan kuda dan pekathik alias perawatnya. ‘’Cuma ada empat makam di atas,’’ kata Patok.
Benar adanya. Sesampainya di area makam, sebuah cungkup dengan tulisan Turangga Gaprik (Kuda Gaprik) telah menyambut.
Berjarak sekitar tiga meter dari makam kuda tunggangan Tumenggung Brotonegoro itu, ada satu nisan lagi. Tidak lain adalah pekathik-nya. ‘’Makam Tumenggung Brotonegoro ada di dalam sana,’’ tunjuk Patok.
Berada di sebuah bangunan menyerupai pendapa, dua makam diberi pembatas tepi berkain putih.
Ya, dua nisan yang telah dilapisi keramik putih itu disebut Patok sebagai makam Tumenggung Brotonegoro dan istrinya.
‘’Sekalian saya sapu dulu,’’ ungkapnya dilanjut menerangkan jika setiap seminggu sekali areal makam dibersihkan.
Selama 22 tahun sudah Patok menjadi juru kunci makam tersebut. Beragam pengalaman tentu telah dirasakannya selama itu.
Hingga sekarang, Patok masih memegang teguh apa yang dipesankan leluhurnya. Yakni tiap malam Jumat, makam mesti diberi nyala lampu tlupak.
Yakni lampu tradisional berbentuk seperti mangkuk kecil yang sumbunya berada di samping. ‘’Dulu pakai minyak jarak. Karena sudah tidak ada, sekarang saya pakai minyak klentik (goreng),’’ terangnya.
Beraneka macam peziarah sudah pernah ditemui Patok. Mulai yang datang dari jauh seperti Jakarta, sampai yang datang berziarah saat tengah malam. Tidak terkeculai peziarah dari kalangan pejabat. Baik yang baru calon maupun yang telah menjabat.
‘’Ada anggota DPRD Ponorogo yang sering ke sini menjelang pemilihan, tapi setelah jadi malah blas,’’ ungkapnya sambil menyebut bupati Madiun juga sering ke makam yang dijaganya.
Menyoal peziarah, akhir bulan Suro disebut Patok menjadi saatnya makam Brotonegoro dibanjiri peziarah. Jumlahnya tembus hingga enam ribu.
Banyaknya peziarah itu disebabkan pertama kali oleh sejumlah santri dari Desa Sewulan, Dagangan, Kabupaten Madiun. Patok mengaku santri-santri tersebut diminta berziarah oleh kiainya.
‘’Lama-kelamaan tambah banyak, datang juga santri dari luar daerah,’’ ujarnya.***(irw)
Redaktur & Reporter : Soetomo