jpnn.com -
Samad sudah belasan tahun dipercaya sebagai juru kunci Makam Kanjeng Raden Mas Arya (K.R.M.A) Mertonegoro.
BACA JUGA: Bandar Sambal, 2 Tahun Sudah Berkembang Pesat
Kendati sudah tidak lagi muda, ingatannya tentang sejarah Bupati I Ponorogo Kota Baru itu masih kuat.
DENI KURNIAWAN, Ponorogo
BACA JUGA: 3 Menteri Sempat Mengelak saat Ditanya soal Proyek Elekyo
SEJUMLAH tanaman perdu menyambut saat tiba halaman salah satu rumah di Jalan Halim Perdana Kusama, masuk Desa Tajug, Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo, Jatim.
Seorang kakek berpeci hitam sedang duduk menghadap sebuah meja tepat di sudut teras. Tangannya sibuk dengan kretek kesukaannya. Sesekali dia jumput beberapa helai tembakau pada bagian ujungnya.
BACA JUGA: Kisah Mengharukan sang Kolonel saat Dipeluk Perempuan Sakit
Sejurus kemudian, dia pasang kretek itu ke pipa hisap lantas disulut. ‘’Silakan duduk,’’ sambut Samad, empunya rumah.
Sepintas Samad memang terlihat seperti lumrahnya seorang kakek yang tengah menikmati masa tuanya. Tapi, jangan salah. Bukan sembarang tugas yang diembannya.
Ya, pria sepuh itu juru kunci makam K.R.M.A Mertonegoro. Secara turun-temurun, dia menjadi juru kunci yang keempat sejak 1984.
Gelar Mas Ngabei Samad Pujo Hadiprojo pun diperolehnya dari Keraton Surakarta Hadiningrat. ‘’Tahun lalu dapat gelar itu,’’ tuturnya.
Saat bergegas menuju makam, kepiawaian Samad berkendara menepis kerut di wajahnya. Pun, gaya berjalannya yang sudah tidak tegap lagi. Tapi rupanya masih cukup gesit.
Bagaimana tidak, medan jalan menuju makam yang belum diaspal dan licin, dilintasinya dengan santai.
Sesaat setelah memarkir motor dan melewati sebuah gapura, Samad menyanggah penyebutan awam terhadap K.R.M.A Mertonegoro. ‘’Yang benar Mertonegoro, bukan Merto Hadinegoro,’’ ungkap kakek 14 cucu itu.
Di kiri kanan jalan menuju makam utama, terdapat sejumlah makam yang merupakan staf Mertonegoro. Setelah sampai di depan pintu cungkup Bupati I Ponorogo Kota Baru itu, Samad bersila dan tampak umak-umik membacakan sesuatu.
Selang beberapa lama, dia lantas merogoh saku celana hitam yang tidak menutup panjang kakinya itu. ‘’Istilahnya kulo nuwun (permisi, Red),’’ ucapnya sembari membuka gembok.
Di balik pintu usang dengan cat tidak merata serta tembok cungkup kelir putih yang plesternya sudah banyak terkelupas itu, ada tiga makam.
Mertonegoro di tengah, sebelah barat Retnaningrum (istrinya), dan sebelah timur adalah makam anak bungsunya (nomor empat).
‘’Anak yang pertama dimakamkan di Solo, nomor dua di Trenggalek, sedangkan yang ketiga di Magetan,’’ jelas Samad.
Ketiga makam itu diberi selambu putih. Sembari sedikit menyingkapnya, Samad berkisah panjang lebar tentang sejarah Mertonegoro.
Sejatinya, Mertonegoro merupakan Bupati ke-13 Ponorogo terhitung sejak masa pemerintahan pertama, Bathoro Katong.
Mertonegoro menjabat Bupati pada 1819 sampai 1854, bertepatan dengan wafatnya.
‘’Sebelumnya, pemerintahan Ponorogo Kota Lama ada di wilayah Timur. Semenjak Eyang Mertonegoro menjabat bupati, pemerintahan dipindah seperti yang sekarang ini. Dipindah atas perintah Belanda dulu,’’ jelas Samad.
Selama sepuluh tahun, Mertonegoro membangun kota baru. Alun-alun dan dua pasar yang sekarang disebut Pasar Legi Songgolangit dan Pasar Lanang, disebut Samad sebagai hasil pembangunan masa pemerintahan Mertonegoro.
‘’Sekarang bentuknya memang sudah berubah karena direnovasi, tapi itu bukti sejarah pemerintahan Eyang Mertonegoro. Mungkin hal tersebut tidak banyak yang tahu,’’ ujarnya.
Selama 33 tahun Samad menjadi juru kunci. Suka dan duka tentu dirasakan dalam melaksanakan tugasnya. Dia sudah biasa membersihkan area makam sepekan sekali saban malam Jumat.
Samad juga tidak jarang mengantar sekaligus mendampingi peziarah serta menjelaskan sejarah Mertonegoro. ‘’Peziarah datang paling ramai pada Ruwah (bulan sebelum Ramadan, Red),’’ terangnya.
Selain Ponorogo, peziarah juga datang dari Magetan, Wonogiri, Trenggalek, dan Tulungagung. Ramah tentunya bakal Samad sajikan tatkala ada peziarah datang.
Kendati demikian, dia mengaku sering mendapati peziarah yang kurang sopan.
‘’Menyuruh membukakan pintu dengan kesan menyepelekan. Sengaja saya biarkan peziarah seperti itu, saya ngaku kalau kuncinya ketinggalan. Saya balik rumah dan tidak kembali ke makam,’’ jelasnya kesal.
Dia mengaku prihatin dengan generasi penerus yang tidak memahami siapa pendahulunya. Samad berharap ada pelajaran di sekolah yang mengulas tentang sejarah Ponorogo termasuk pendiri beserta makam-makamnya.
Selain itu, keadaan makam yang bangunannya jauh dari perawatan tersebut juga membuat sesak dadanya.
‘’Seharusnya pemerintah peduli dengan keadaan seperti itu. Sudah banyak generasi yang tidak tahu, bangunan makam tidak terawat, lama-lama bisa hilang semua,’’ ujarnya.***(irw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tangan Ustaz Abdul Somad Terasa Sejuk Sekali
Redaktur & Reporter : Soetomo