JAKARTA-Halaqah Majelis Syariah DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merekomendasikan kepada umat Islam, khususnya jajaran pengurus dan simpatisan PPP untuk bersama-sama mengkaji kembali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengakuan hak perdata terhadap anak hasil perzinaan. Ada kekeliruan yang harus ditinjau kembali dalam putusan MK terkait UU Perkawinan.
’’Hal ini agak bertentangan dengan hukum Islam dan secara tak langsung seolah-olah melegalkan perzinaan. PPP sebagai partai berazaskan Islam menolak putusan MK ini dan mengupayakan jalur lain agar putusan MK dibatalkan,’’ terang Ketua Pelaksana Majelis Syariah DPP PPP KH Noor Iskandar Rizky saat membacakan kesimpulan Halaqoh, kemarin, (21/03).
Hasil putusan MK terhadap uji materi pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan berbunyi ’’Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.’’
Noor menambahkan, putusan MK tersebut terlalu jauh melampaui judicial review yang dimohonkan, yakni hak perdata bagi anak yang sah secara agama namun tidak tercatat secara hukum perundang-undangan nasional. ’’Tapi masalahnya kok MK memutuskan hak perdata juga bagi anak hasil perzinaan. Ini kan jelas bertentangan dengan syariat dan PPP sebagai partai Islam tak bisa melawan hukum syariat,’’ terangnya.
Dengan dasar itu, tegas dia, maka seluruh elemen PPP perlu melakukan sosialisasi ke bawah agar hal yang bertentangan dengan syariat Islam ini tidak diikuti. Pada saat bersamaan, ungkap dia, pihaknya juga akan mendorong agar putusan MK itu bisa dibatalkan meski hukum saat ini mengatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
’’Sebagai upaya, kita akan meminta agar UU Perkawinan ini direvisi dan dirombak dulu. Termasuk soal status anak hasil hubungan di luar nikah meski lahir saat nikah. Misalnya ada orang sudah hamil lima bulan baru menikah. Ini kan secara syariat tidak sah anak tersebut. Tapi dalam perundang-undangan saat ini dia diakui sah,’’ ungkapnya.
Jika langkah mendorong revisi UU Perkawinan juga gagal, ungkap Noor, maka langkah terakhir yang ditempuh adalah mendorong agar kewenangan MK dievaluasi. Sebab, tegas dia, kewenangan MK terlalu absolut dan bahkan seolah melebihi UUD yang masih bisa diamandemen. ’’UUD saja bisa diamandemen. Kitab suci juga bisa diubah. Tapi masak putusan MK tidak bisa diapa-apakan meski bertentangan secara syariat agama. Makanya ini juga harus dijudicial review,’’ terangnya.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, setiap manusia punya martabat, setiap anak lahir harus dilindungi. Di dalam Islam ada hadis Nabi bahwa setiap orang itu lahir dalam keadaan fitrah atau tanpa dosa. Maka kedua orang tuanya tak boleh senaknya, harus bertanggung jawab. ’’Saya melihat konstitusi itu mengikuti agama-agama, memuliakan manusia dan melarang perzinaan. Vonis MK juga memberi hak keperdataan pada anak hasil kawin siri yang sah,’’ kata profesor politik hukum ini kepada INDOPOS.
Selama ini, lanjut Mahfud, orang kawin siri dianggap melanggar hukum karena tak dicatatkan menurut undang-undang. Padahal kawin siri yang dilakukan sesuai ajaran agama masing-masing adalah sah. Dengan vonis MK, anak lahir dari kawin siri bukanlah anak tidak sah, tapi anak yang sah dan punya hak keperdataan yang bisa dituntut ke pengadilan. Asal, bisa dibuktikan punya hubungan darah. ’’Apakah ini melegalkan perzinaan" Jawabannya pasti tidak,’’ tegas dia.
Tapi, bukankah MK menyatakan anak lahir di luar nikah, termasuk anak hasil perzinaan, itu punya hubungan keperdataan dengan ayahnya? Menurut Mahfud, itu salah paham atas konsep hak keperdataan. Hubungan keperdataan itu tak selalu sama dengan hubungan nasab atau keturunan.
Hubungan keperdataan dari kawin siri bisa melahirkan hubungan nasab, tetapi hubungan keperdataan dari anak yang lahir karena perzinaan bukan hubungan nasab. Hak keperdataannya bisa hak-hak lain di luar hubungan nasab.
Misalnya, hak menuntut pembiayaan pendidikan, hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain seperti diatur Pasal 1365 KUH Perdata, menggugat karena ingkar janji, dan hak-hak lain yang bukan hak nasab, bukan hak waris, atau hak apapun yang menurut fikih bukan hak dalam pernikahan (munakahat).
’’Itu bisa diatur lebih tegas oleh Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM. MK hanya menegaskan posisi hukumnya sesuai konstitusi,’’ pungkas dia. (dms)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Emir Bingung Tentang Asal Travel Cek
Redaktur : Tim Redaksi