Tolak Penambangan Emas di Minahasa

Kamis, 06 September 2012 – 16:00 WIB
Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (AMTI) dan Sulut Mining Watch (SMW) mendatangi gedung Rajawali Grup, Jakarta, Kamis (6/9). Mereka menggelar aksi demonstrasi menolak kehadiran PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) yang merupakan anak perusahaan Rajawali Group di Minahasa, Sulawesi Utara. Foto: Getty Images
JAKARTA - Massa yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (AMTI) dan Sulut Mining Watch (SMW) mendatangi gedung Rajawali Grup, Jakarta, Kamis (6/9). Mereka menggelar aksi demonstrasi menolak kehadiran PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) yang merupakan anak perusahaan Rajawali Group di Minahasa, Sulawesi Utara.

AMTI menolak kehadiran dua perusahaan tambang emas ini karena diduga telah mencemari lingkungan. Pencemaran dari limbah TSF (Tailing Storage Facility) menyebabkan ekosistem dan kelangsungan hayati di Minahasa terancam. Selain minta aktivitas tambang dihentikan, massa juga menuntut agar penanggung jawab perusahaan diseret ke pengadilan.

"Pihak perusahaan boleh saja berkelit jika ini adalah siklus tertutup.  Tapi apakah pihak MSM lupa jika air yang terkontaminasi racun akan dapat merembes ke aliran air bawah tanah atau sumber mata air bawah tanah serta meresap melewati aliran sungai-sungai yang  ada di sekitar tambang. Apa jaminan pihak MSM dan TTN air beracun tidak akan mencemari lingkungan?," kata Ketua Umum AMTI, Tommy Turangan saat berunjukrasa di gedung Rajawali Grup, Jakarta, Kamis (6/9).

Tommy menjelaskan bahwa fakta-fakta pencemaran akibat aktivitas penambangan selalu dobantah MSM dan TTN yang merupakan perusahaan Rajawali Corporation milik Pengusaha Peter Sondakh dengan saham mayoritas 52.3 persen itu. Tapi kata dia, dari hasil investigasi Sulut Mining Watch yang menjadi partner AMTI menemukan bahwa di lokasi penambangan sudah tercemar.

Menurutnya, hal itu dibuktikan dengan pohon-pohon di sekitar TSF sudah banyak yang kering. Padahal pohon tersebut di sekelilingnya ada airnya. Ini menandakan air tersebut beracun. "Logikanya, pohon saja bisa mati apalagi kalau air tersebut diminum manusia. Berarti racun ini menyebar dan mengancam kehidupan masyarakat di lingkar tambang," ucapnya.

Dikatakan pula Tommy, masyarakat juga merasakan langsung dampaknya ketika hujan tiba. Sungai Batupangah yang ada disekitar lokasi penambangan menjadi kotor dan sudah tidak layak digunakan untuk mencuci pakaian apalagi untuk konsumsi.

"Ternyata tidak saja ketika hujan, kadang-kadang keruh dan kotor akibat kegiatan yang penambangan di Pit Kopra. Keluhan masyarakat ini ternyata setelah ditelusuri penyebabnya karena MSM dan TTN tidak mempersiapkan bangunan penahan sedimen di sekitar area sungai tersebut," pungkasnya. (awa/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Diduga Korupsi Proyek Musala, Camat Jadi Tersangka

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler