jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara bersama sejumlah tokoh mengirimkan petisi kepada Komisi VII DPR, untuk mengawal agar skema power wheeling tidak masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT), yang saat ini sedang dibahas pemerintah dan DPR.
Marwan mengatakan, petisi dibuat karena skema power wheeling dinilai kurang tepat. Pasalnya skema tersebut akan menimbulkan permasalahan baru pada sektor kelistrikan nasional.
BACA JUGA: Dinilai Melanggar Konstitusi, Skema Power Wheeling di RUU EBT Harus Dihapus
Jika skema power wheeling disahkan di dalam UU EBT, maka produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN.
Hal ini menyalahi konstitusi, sebab dalam turunan Pasal 33 UUD 1945 yang tertuang dalam UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan, penyediaan listrik untuk kepentingan umum dilakukan secara terintegrasi mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan diamanatkan dilakukan oleh PLN.
BACA JUGA: Emas jadi Investasi Primadona, Penjualan Antam Makin Moncer
"Wewenang PLN ini merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara melalui BUMN," kata Marwan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/1).
Marwan memandang skema power wheling akan merugikan negara sebab akan mengurangi kemampuan PLN untuk bertahan dari kondisi kelebihan pasokan listrik di Indonesia yang sangat besar dan tidak berimbang dengan konsumsi.
BACA JUGA: Permudah Akses Internet dan Edukasi, IDE Gandeng PLN Icon Plus
"Faktanya sarana itu (transmisi) dibangun dalam rangka menyalurkan listrik oleh PLN. Saat ini pasokan listrik PLN sangat berlebih, over supply di Jawa itu sekitar 50 sampai 60 persen dan ini akan berlangsung mungkin 3 atau 4 tahun ke depan. Kemudian di Sumatera juga sekitar itu 40 sampai 50 persen," paparnya.
Marwan melanjutkan, pemanfaatan jaringan PLN oleh IPP EBT melalui skema power wheeling juga akan menimbulkan masalah pada sisi konsumen, harga listrik pembangkit berbasis EBT yang dibangun swasta tentu akan lebih mahal, hal ini tentu akan dibebankan ke konsumen.
"Pemerintah sendiri belum jelas, jangan sampai nanti dengan tarif transmisi numpang lewat infrastruktur PLN, kemudian tarif itu tidak jelas, tidak ada dasar perhitungan yang ilmiah dan objektif," tuturnya.
Menurut Marwan, saat ini pasokan listrik berbasis EBT dari PLN pun telah cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga tidak perlu peran swasta untuk menambah pasokannya.
Jika pihak swasta tetap membangun pembangkit berbasis EBT akan menambah beban keuangan PLN, melihat kondisi berlebih pasokan listrik yang terjadi saat ini.
Pasalnya, ada skema take or pay yang memaksa PLN membayar listrik yang tidak terpakai.
Kondisi ini pun akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik, sehingga untuk meringankan beban tersebut berujung pada kenaikan tarif listrik atau menambah beban APBN.
"Nah ini masuk ke dalam biaya operasi PLN dengan masuknya biaya menjadi biaya operasi maka biaya pokok penyediaan listrik, itu akan naik kalau BPP-nya naik, tarif listrik juga naik seperti itu secara umum gambarannya. Kami di sini hadir untuk mengawal agar skema power wheeling tidak kembali dibahas dan masuk dalam UU EBT," seru Marwan.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada