Sementara, puluhan warga Meulaboh, Aceh Barat, Minggu (31/3), melakukan aksi pemasangan bendera sang saka Merah Putih pada simpang-simpang kota tersebut. Selain itu, mereka juga melakukan konvoi keliling kota dengan membawa bendera, serta melakukan penghormatan bendera.
Aramiko Aritonang, selaku Ketua Koordinator penolakan aksi hari ini, kepada Rakyat Aceh, mengatakan, konvoi merah putih juga diikuti sejumlah organisasi mahasiswa dan ormas. Seperti, GmnI, HMI, KAMMI, BEM UGP, PETA, Laskar Merah Putih dan sejumlah ormas lainnya dari Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Sesuai dengan jadwal telah ditetapkan, sebelum bergerak, ratusan mahasiswa dan masyarakat berkumpul di Jalan Yos Sudarso kemudian mengambil rute Posko Merah Putih, Simpang 4, Jalan Lintang, Pasar Inpres dan menuju kantor DPRK setempat. ”Semua persiapan sudah rampung, tinggal pelaksanaan saja,” ujarnya.
Tujuan konvoi bendera merah putih itu, untuk menjaga nasionalisme dan juga sebagai bentuk protes terhadap keputusan Gubernur Aceh dan DPR-A, terkait dengan qanun bendera dan lambang juga Qanun Wali Nanggroe.
“Kami menganggap lahirnya Qanun tersebut adalah sebuah tindakan makar yang dapat merusak perdamaian di Aceh,” tandasnya.
“Kini rakyat tertipu dengan lahirnya qanun melalaikan rakyat sehingga lupa dengan pengontrolan uang Aceh yang hari ini dikuasai oleh elit mantan GAM. Kami masyarakat wilayah tengah tetap menuntut pemekaran provensi Aceh Leuser Antara demi tercapainya kesejahtraan dan keberlangsungan budaya kami sampai akhir hayat”,tegas Miko panggilan akrab Aramiko Aritonang.
Untuk itu, masyarakat wilayah tengah tetap menolak Qanun, Bendera dan lambing Aceh dan tetap menuntut pemekaran provinsi baru yakitu Aceh Leuser Antara (ALA) yang telah lama dinanti.
Di Meulaboh Merah Putih Berkibar
Sementara itu di Meulaboh puluhan massa berasal dari organisasi Front Pembela Tanah Air (PETA) Aceh Barat memasang bendera Merah Putih di berbagai persimpangan jalan sebagai pertanda penolakan Qanun Bendera dan Lambang Aceh.
“Kegiatan pemasangan sang saka merah putih ini, sebagai bentuk penolakan kami terhadap keberadaan bendera bulan bintang menjadi bendera dan lambang di Aceh,” ujar Taufik, Koordinator Aksi, yang sekaligus menjabat panglima PETA Aceh Barat.
Pascapengesahan Qanun lambang dan bendera bulan bintang oleh kalangan DPRA pada pekan lalu. Taufik menilai, suasana Aceh terlihat semankin kurang kondusif. ia bersama teman-temanya mengkhawatirkan akan munculnya konflik baru di Aceh.
“Rakyat Aceh telah bahagia merasakan kedamaian ini, dengan hidup tenang pasca damai tercipta. Jadi tolong jangan membuat keputusan yang dapat merugikan rakyat serta mengorbankan rakyat lagi, seperti pengalaman yang terjadi tempo dahulu,” jelasnya.
Mereka berharap Pemerintah Pusat mengambil langkah tegas dan arif merespon aspirasi masyarakat ini. Karena, jika salah dalam pengambilan kebijakan, kemungkinan akan selamat tinggal Indonesia.
Yang rakyat inginkan adalah kesejateraan, kemakmuran, dan kedamaian. Bukan malah bendera separatis yang dipaksakan menjadi lambang Provinsi Aceh. Fikir dulu rakyat mu. Memangnya bendera bisa dimakan oleh rakyat Aceh?” Kata Taufik yang dutujukan kepada pihak Eksekutif dan legislative di daerah Provinsi Aceh.
Secara terpisah, anggota DPRK Aceh Barat dari Fraksi Partai Aceh (PA), Rizwan, mengaku terkejut dengan berkibarnya bendera merah putih di sejumlah simpang kota Meulaboh.
“Apa ini maksudnya, kok ada pengibarang sang saka Merah Putih? Memangnya ada tamu Negara yang datang, atau hari ini merupakan hari wajib pengibaran bendera?,” katanya.
Pemasangan bendera Merah Putih demikian, kata Rizwan, patut dipertanyakan apa maksud dan tujuannya. Harus jelas dalam rangka apa?
“Sekarang ini dipasang di Kuta Padang, Simpang Pelor, tapi saya yang juga warga Kuta Padang tidak tahu menahu tentang tujuan pemasangan itu,” ungkap anggota dewan asal PA tersebut. (ron)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Enam Orang di Batam Tewas Akibat AIDS
Redaktur : Tim Redaksi