jpnn.com - PONOROGO - Dukungan Pemkab Ponorogo kepada dokter yang menolak program dokter layanan primer (DLP) beberapa waktu lalu dianggap memang sudah selayaknya.
Program sekolah lanjutan profesi dokter tersebut dinilai bakal mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat Ponorogo.
BACA JUGA: Sereeemm! Ditemukan Mayat Tanpa Kepala, Kaki Terpisah
Alasannya, pemkab tengah kekurangan tenaga dokter.
Pelayanan bakal makin kurang maksimal jika dokter yang ada harus melanjutkan sekolah peningkatan layanan utama dunia medis tersebut.
BACA JUGA: Imigrasi Surabaya Pusing, Warga Afghanistan Suka Sayat Tangan Sendiri
"Permasalahannya bukan hanya dokter baru. Dokter lama juga wajib mengikuti itu (program DLP, Red) selama enam bulan. Padahal, jumlah dokter saat ini kurang,'' kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Ponorogo Rahayu Kusdarini.
Irin, sapaan Rahayu Kusdarini, mengakui, tujuan program DLP tersebut baik.
BACA JUGA: PASTI! Gaji Honorer dan TPP PNS Dipangkas
Yakni, meningkatkan kompetensi dokter terkait pelayanan primer kepada masyarakat.
Terutama di puskesmas sebagai pelayanan awal.
Namun, beban dokter di Ponorogo kelewat tinggi karena minimnya tenaga.
Irin menyebutkan, hanya ada seorang dokter saban puskesmas di Ponorogo.
Artinya, bakal ada kekosongan dokter di puskesmas jika harus ditinggal sekolah.
Penempatan sementara dari rumah sakit juga tidak efektif. Sebab, tenaga dokter di rumah sakit sangat minin.
"Kalau harus ditinggal sekolah selama enam bulan dan belum ada penggantinya, bagaimana nanti pelayanan kepada masyarakat?'' ujarnya sembari menyebut ada 31 puskesmas di Ponorogo.
Irin menambahkan, jumlah dokter di puskesmas sejatinya jauh dari standar, bahkan standar terendah sekali pun.
Dia menyatakan, ada tiga standar penerapan dokter umum untuk puskesmas.
Yakni, standar World Health Organization (WHO), BPJS, dan dinkes provinsi.
Standar WHO mengharuskan seorang dokter melayani maksimal 2.500 masyarakat.
Padahal, penduduk satu kecamatan di Ponorogo rata-rata lebih dari 30
Bahkan, ada yang mencapai 50 ribu jiwa. Artinya, butuh 20 dokter untuk satu puskesmas.
"Saat ini kami hanya memiliki 31 dokter untuk 31 puskesmas. Bayangkan, berapa kekurangannya kalau mengacu pada standar WHO?'' ujarnya.
Bahkan, dokter puskesmas di Ponorogo belum mampu memenuhi standar provinsi.
Idealnya, terdapat seorang dokter umum di puskesmas yang hanya melayani rawat jalan.
Irin menerangkan, program DLP bakal menghambat distribusi tenaga dokter.
Sebab, masa belajar dokter semakin panjang. Yakni, mencapai 9-10 tahun.
Padahal, biasanya hanya sekitar enam tahun untuk sarjana kedokterannya. (agi/irw/c5/diq/flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ibu-ibu Harap Waspada Ya, Kolor Ijo Masih Berkeliaran
Redaktur : Tim Redaksi