jpnn.com - JAKARTA - Kekhawatiran rupiah melemah sebagai dampak penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) mulai hilang. Pasalnya, rupiah justru kian bergairah.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, derasnya aliran modal asing (capital inflow) membuat likuiditas valuta asing (valas) membaik sehingga rupiah pun menguat.
BACA JUGA: Inilah Jenis Bisnis yang Bakal Cerah
''Beberapa hari terakhir rupiah menguat di atas 3 persen,'' ujarnya di Gedung BI kemarin (4/3).
Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI kemarin menunjukkan, rupiah ditutup menguat 101 poin ke level Rp 13.159 per USD.
BACA JUGA: Dongkrak Nasabah, Mandiri Syariah Sediakan RRB
Sepanjang pekan ini, rupiah sudah menguat 241 poin dibandingkan penutupan akhir pekan lalu (26/2) yang masih di level USD 13.400 per USD.
Jika dicermati, posisi Rp 13.159 per USD ini merupakan level terkuat yang berhasil dicapai rupiah sejak 22 Mei 2015. Ketika itu, rupiah ada di level Rp 13.136 per USD.
BACA JUGA: Permohonan AP II Ditolak, Lion Air: Kami Tidak Ingin Ambil Alih
Setelah itu, selama lebih sembilan bulan, rupiah cenderung tertekan hingga menembus level terlemah USD 14.728 per USD pada 29 September 2015 lalu. Lalu, berangsur menguat sepanjang akhir tahun lalu dan awan tahun ini.
Sementara itu, di pasar spot, rupiah sudah menguat lebih tajam. Data Bloomberg menunjukkan, kemarin rupiah ditutup menguat 100 poin ke posisi Rp 13.131 per USD.
Bahkan, pada sesi perdagangan siang kemarin, rupiah sempat menembus level terkuat di Rp 13.052 per USD.
Di kawasan Asia Pasifik, mayoritas mata uang memang perkasa terhadap dolar AS. Dari 13 mata uang utama, 10 diantaranya menguat. Penguatan terbesar dicapai won Korsel yang naik 0,94 persen, disusul rupiah 0,76 persen, dan dolar Singapura 0,57 persen. Sementara, tiga mata uang yang melemah adalah dolar Australia, dolar New Zealand, dan yen Jepang.
Menurut Agus, tren penguatan mata uang di kawasan Asia Pasifik terhadap dolar AS juga dipicu perkembangan ekonomi global yang dinilai kurang mengesankan.
Sebaliknya, ekonomi di emerging markets atau negara-negara yang tengah tumbuh menunjukkan perbaikan. ''Saat kita (Indonesia) membaik, recovery ekonomi global pelan sekali. Malah ada kecenderungan memburuk,'' kata bekas dirut Bank Mandiri dan mantan menteri keuangan tersebut.
Kondisi itu, lanjut Agus, membuat terjadinya aliran dana dari negara-negara maju ke emerging markets, termasuk Indonesia. Bank sentral mencatat, sepanjang Januari - Februari 2016, aliran dana masuk ke Indonesia mencapai Rp 35 triliun.
Dana-dana itu memang tergolong modal jangka pendek atau biasa disebut hot money alias uang panas. Dana itu masuk ke pasar surat berharga (obligasi) dan pasar saham. ''Makanya terjadi penguatan rupiah dan saham,'' ucapnya. (owi/ken/gen/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perbankan Diminta Sukseskan Program Sejuta Rumah
Redaktur : Tim Redaksi