JAKARTA - Sidang lanjutan perselisihan pemutusan hubungan kerja antara Total E&P Indonesie (TEPI), perusahaan migas asal Perancis dengan karyawannya Judith J. Navarro Dipodiputro di Pengadilan Hubungan Industrial, Senin (17/6), berlangsung singkat. Pasalnya, pihak TEPI sebagai penggugat, gagal menghadirkan saksi seperti yang dijanjikannya pada persidangan sebelumnya.
Sidang yang berlangsung di Gedung Pengadilan Hubungan Industrial itu akhirnya hanya berupa penyerahan bukti-bukti tambahan kepada majelis hakim oleh pihak tergugat yang diwakili Tim kuasa hukumnya dari Kantor OC Kaligis. Majelis hakim pun lantas menunda jalannya sidang. "Menunda sidang hingga Senin (24/6)," kata Majelis Hakim Dwi Sugiarto SH.
Dwi pun memberikan kesempatan terakhir pada TEPI untuk menghadirkan saksi dimaksud dalam sidang pekan depan.
Sekedar informasi, sidang hari ini adalah sidang yang ke-11 kalinya yang digelar PHI atas gugatan TEPI yang berupaya memecat Judith dari jabatan Vice President Corporate Communication, Government Relations and CSR di perusahaan itu.
Dalam gugatannya, TEPI menyatakan, alasan ingin mem-PHK Judith dilakukan berdasarkan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No.13 tahun 2003, karena TEPI melakukan efisiensi.
Pada bagian lain, TEPI mengatakan PHK dilakukan karena adanya reorganisasi yang mengakibatkan ditiadakannya jabatan yang diemban Judith. Perusahaan patungan Perancis dengan Jepang (INPEX Corporation, yang kini juga mengelola Blok Massela) yang menjadi pengelola Blok Mahakam tersebut menawarkan uang pesangon sebesar Rp 1,7 miliar lebih jika Judith mau menuruti kemauan perusahaan.
Sementara Judith, melalui kuasa hukumnya berkeras menolak PHK sepihak dan sewenang-wenang yang dilakukan TEPI. Ditegaskan, kliennya diangkat sebagai Vice President Corporate Communication, Government Relations and CSR atas persetujuan dari BP Migas (saat ini diganti menjadi SKK Migas,red).
Soalnya, jabatan yang diemban Judith tersebut berada 2 tingkat dibawah pimpinan tertinggi perusahaan. Ini jabatan khusus. Penempatannya harus mendapatkan persetujuan BP Migas sebagaimana diatur dalam PTK No. 018/PTK/V/2006.
Atas dasar itu, jika kliennya akan dimutasi dari jabatan tersebut, seharus perusahaan memberitahukan terlebih dahulu kepada BP Migas selaku pihak yang memberikan persetujuan pengangkatan sebelumnya.
Kuasa Hukum Judith menyatakan, alasan reorganisasi sebenarnya hanya dalih yang dicari-cari untuk menyingkirkan kliennya dari TEPI. Tindakan itu, secara hukum, masih prematur dilakukan. Soalnya, sebagai sebuah perusahaan migas, TEPI terikat pada aturan yang tercantum dalam Pedoman Tata Kerja BP Migas No.018/PTK/X/2008 Revisi I tentang Pengelolaan Sumber Daya Manusia Kontraktor Kerja Sama.
Apa yang disyaratkan BP Migas tersebut jelas tidak terpenuhi. Alasan efisiensi yang dikemukakan TEPI tidak termasuk dalam kriteria tersebut. Soalnya, ujar Kuasa Hukum Judith, TEPI tidak pernah melakukan penutupan wilayah kerja terhadap ladang minyak yang dikelola Total sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Disamping itu, alasan TEPI mengakhiri hubungan kerja dengan karyawan berdasarkan pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan atas dasar efisiensi, juga tidak berdasar. Bagaimana mungkin Total menjadikan pasal itu sebagai alasan sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 telah membatalkan pasal tersebut.
Sebagaimana Anjuran Mediator sebelum perkara ini bergulir ke Pengadilan Hubungan Industrial, efisiensi berdasarkan pasal 164 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat dipertimbangkan mengingat adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 yang menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena efisiensi yang dilakukan pihak pengusaha pada kenyataan, bukan dalam rangka pengusaha melakukan penutupan terhadap usahanya.
Sebagian putusan MK tersebut berbunyi, “... karena pada hakekatnya, tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf (3.21) tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.”
Dengan sejumlah alasan tersebut, kuasa hukum Judith tetap berpendirian bahwa keinginan TEPI untuk memberhentikan kliennya tidak berdasarkan hukum. Kuasa hukum meminta Pengadilan untuk memerintahkan Total E&P Indonesie untuk mempekerjakan kembali kliennya dan membayar hak-haknya yang tertunggak selama ini. (jpnn)
Sidang yang berlangsung di Gedung Pengadilan Hubungan Industrial itu akhirnya hanya berupa penyerahan bukti-bukti tambahan kepada majelis hakim oleh pihak tergugat yang diwakili Tim kuasa hukumnya dari Kantor OC Kaligis. Majelis hakim pun lantas menunda jalannya sidang. "Menunda sidang hingga Senin (24/6)," kata Majelis Hakim Dwi Sugiarto SH.
Dwi pun memberikan kesempatan terakhir pada TEPI untuk menghadirkan saksi dimaksud dalam sidang pekan depan.
Sekedar informasi, sidang hari ini adalah sidang yang ke-11 kalinya yang digelar PHI atas gugatan TEPI yang berupaya memecat Judith dari jabatan Vice President Corporate Communication, Government Relations and CSR di perusahaan itu.
Dalam gugatannya, TEPI menyatakan, alasan ingin mem-PHK Judith dilakukan berdasarkan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No.13 tahun 2003, karena TEPI melakukan efisiensi.
Pada bagian lain, TEPI mengatakan PHK dilakukan karena adanya reorganisasi yang mengakibatkan ditiadakannya jabatan yang diemban Judith. Perusahaan patungan Perancis dengan Jepang (INPEX Corporation, yang kini juga mengelola Blok Massela) yang menjadi pengelola Blok Mahakam tersebut menawarkan uang pesangon sebesar Rp 1,7 miliar lebih jika Judith mau menuruti kemauan perusahaan.
Sementara Judith, melalui kuasa hukumnya berkeras menolak PHK sepihak dan sewenang-wenang yang dilakukan TEPI. Ditegaskan, kliennya diangkat sebagai Vice President Corporate Communication, Government Relations and CSR atas persetujuan dari BP Migas (saat ini diganti menjadi SKK Migas,red).
Soalnya, jabatan yang diemban Judith tersebut berada 2 tingkat dibawah pimpinan tertinggi perusahaan. Ini jabatan khusus. Penempatannya harus mendapatkan persetujuan BP Migas sebagaimana diatur dalam PTK No. 018/PTK/V/2006.
Atas dasar itu, jika kliennya akan dimutasi dari jabatan tersebut, seharus perusahaan memberitahukan terlebih dahulu kepada BP Migas selaku pihak yang memberikan persetujuan pengangkatan sebelumnya.
Kuasa Hukum Judith menyatakan, alasan reorganisasi sebenarnya hanya dalih yang dicari-cari untuk menyingkirkan kliennya dari TEPI. Tindakan itu, secara hukum, masih prematur dilakukan. Soalnya, sebagai sebuah perusahaan migas, TEPI terikat pada aturan yang tercantum dalam Pedoman Tata Kerja BP Migas No.018/PTK/X/2008 Revisi I tentang Pengelolaan Sumber Daya Manusia Kontraktor Kerja Sama.
Apa yang disyaratkan BP Migas tersebut jelas tidak terpenuhi. Alasan efisiensi yang dikemukakan TEPI tidak termasuk dalam kriteria tersebut. Soalnya, ujar Kuasa Hukum Judith, TEPI tidak pernah melakukan penutupan wilayah kerja terhadap ladang minyak yang dikelola Total sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Disamping itu, alasan TEPI mengakhiri hubungan kerja dengan karyawan berdasarkan pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan atas dasar efisiensi, juga tidak berdasar. Bagaimana mungkin Total menjadikan pasal itu sebagai alasan sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 telah membatalkan pasal tersebut.
Sebagaimana Anjuran Mediator sebelum perkara ini bergulir ke Pengadilan Hubungan Industrial, efisiensi berdasarkan pasal 164 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat dipertimbangkan mengingat adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 yang menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena efisiensi yang dilakukan pihak pengusaha pada kenyataan, bukan dalam rangka pengusaha melakukan penutupan terhadap usahanya.
Sebagian putusan MK tersebut berbunyi, “... karena pada hakekatnya, tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf (3.21) tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.”
Dengan sejumlah alasan tersebut, kuasa hukum Judith tetap berpendirian bahwa keinginan TEPI untuk memberhentikan kliennya tidak berdasarkan hukum. Kuasa hukum meminta Pengadilan untuk memerintahkan Total E&P Indonesie untuk mempekerjakan kembali kliennya dan membayar hak-haknya yang tertunggak selama ini. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PKS Tuding SBY Biarkan Subsidi BBM Salah Sasaran
Redaktur : Tim Redaksi