TPDI: Polri Tidak Boleh Membarter Kekuasaan Negara Untuk Menegakkan Hukum

Jumat, 24 April 2020 – 02:00 WIB
Koordinator TPDI Petrus Selestinus. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) telah menerima kiriman foto copy Surat Pernyataan yang dibuat pada tanggal 17 April 2020 antara Marianus Manis (Marianus), swasta, alamat Kloanglagot, Maumere sebagai Pihak I dan Siprianus Raja, Polri, alamat Aspolres Sikka, selaku Pihak II.

“Surat pernyataan tersebut menerangkan bahwa Pihak I dan Pihak II sepakat untuk menyelesaikan perkara penganiayaan secara kekeluargaan,” kata Koordinator TPDI Petrus Selestinus dalam keterangan persnya, Kamis (23/4/2020).

BACA JUGA: Patut Diduga Ada Agenda Merusak Citra Kapolri Jenderal Idham Azis

Menurut Petrus, poin inti kesepakatan yang telah dicapai adalah Pihak II selaku Pengendali Kegiatan Patroli Percepatan Penanggulangan Virus Corona Kabupaten Sikka meminta maaf kepada Pihak I atas kejadian penganiayaan yang dilakukan oleh Anggota Polri pada hari Sabtu tanggal 11 April 2020, dan Pihak I menyatakan memaafkan Anggota Polri yang melakukan Penganiayaan.

Namun, kata Petrus, ada satu paragraf pada butir 4 (empat) Surat Pernyataan penyelesaian secara musyawarah yang membuat ‘Noda Hitam’ dalam Penegakan Hukum di Sikka, NTT. Yakni narasi, kesepakatan untuk saling memaafkan, perkara dianggap telah selesai dan “tidak akan dilanjutkan ke ranah pidana”.

BACA JUGA: Perintah Terbaru Jenderal Idham Azis untuk Seluruh Anggota Polri

“Padahal niat baik Marianus mau berdamai, adalah damai antarpribadi untuk menghilangkan permusuhan dan dendam,” ujar Petrus.

Beriktikad Tidak Baik

BACA JUGA: Petrus Selestinus: Kebijakan Ini Menusuk Presiden Jokowi dari Belakang

Petrus menjelaskan narasi "tidak membawa ke ranah pidana" karena antara korban dan pelaku telah saling memaafkan, adalah tindakan "membarter" kekuasaan negara untuk meminta pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang yang melakukan tindak kriminal (penganiayaan), hanya karena korban memberikan maaf kepada pelaku.

“Ini tidak dibenarkan dan berakibat penyelesaian damai batal demi hokum,” ujar Petrus yang juga Avokat senior dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Menurut Petrus, hukum positif kita mengharuskan negara menindak siapa pun pelaku tindak pidana guna dimintai pertanggunjawaban pidana. Kecuali dalam delik aduan (klacht delict), sebuah perkara bisa ditutup karena korban mencabut pengaduannya karena perdamaian atau karena sebab lain.

Dalam kasus Marianus, menurut Petrus, Kapolres Sikka, telah bertindak tidak sportif, beriktikad tidak baik dan memperdaya Marianus sekadar mendapatkan Pernyataan Maaf.

Padahal soal maaf-memaafkan seharusnya diselesaikan secara adat Sikka sesuai dengan budaya Sikka, bukan dengan meminta korban menandatangani Surat Pernyataan Damai dan perkara ditutup.

“Ini jelas pelanggaran, karena itu Kapolres Sikka AKBP Sajimin harus bertanggung jawab. Caranya, buka penyidikan dan proses hukum anggota Polisi Polres Sikka yang menganiaya korban Marianus,” tegas Petrus.

Oleh karena itu, lanjut Petrus, paragraf "tidak membawa persoalan ke ranah pidana" telah berimplikasi hukum bahwa keseluruhan Isi Surat Pernyataan Perdamaian menjadi batal demi hukum.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler