jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menanggapi pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly terkait rencana atau konsep mencegah penyebaran Covid-19 di dalam Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas dengan "membebaskan" sejumlah narapidana dari lapas yang sudah melebihi kapasitas.
“Gagasan tersebut menunjukkan sikap Yasonna Laoly berpihak kepada kepentingan koruptor, menimbulkan kegaduhan dan bertentangan dengan rasa keadilan publik,” kata Petrus Selestinus kepada wartawan, Jumat (3/4/2020).
BACA JUGA: KPK Tolak Pembebasan Bersyarat untuk Lima Napi Ini
Menurut Petrus, kalau atas alasan bahwa lapas yang overkapasitas, maka cukup dengan membatasi atau meniadakan untuk sementara waktu proses hukum terhadap semua pelaku kejahatan, menghentikan kunjungan bagi keluarga dan handai tolan hingga ancaman Covid-19 berakhir.
Apalagi pembatasan kunjungan itu sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi mengeluarkan ketentuan tentang sosial distancing hingga karantina yang diperluas. “Masa di tengah ada kebijakan Presiden membatasi orang berlalu lalang, tetapi Menterinya membebaskan ribuan orang di Lapas untuk bebas di luar. Ini namanya Insubordinasi,” ucap Advokat Peradi ini.
BACA JUGA: Jangan Bebaskan Koruptor, Cukup Napi Kelas Teri Saja
Petrus menilai Rencana Yasonna Laoly ini bisa jadi bumerang buat Presiden Jokowi dan kontraproduktif dengan kebijakan Presiden yang membatasi aktivitas sosial masyarakat melalui kontak sosial dan kontak fisik dengan kebijakan sosial distancing.
Tugas dan langkah yang tepat agar Napi Koruptor yang usianya di atas 60 tahun jangan sampai terpapar Covid-19 di lapas adalah tutup sementara kunjungan dari siapa pun, baik keluarga maupun sahabat-sahabat atau handai tolan, bukan dengan membebaskan Napi ke luar dari Lapas. “Ini namanya kebijakan Yasonna menggunting dalam lipatan,” ujar Petrus.
BACA JUGA: 39 TKA Asal Tiongkok Masuk ke Bintan, Saleh DPR: Sepertinya Ada Perlakuan Istimewa
Beleid Menkum HAM Yasonna Laoly ingin mengubah Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2010 dengan memanfaatkan kondisi di mana masyarakat dan pemerintah trauma dan cemas terhadap ancaman Covid-19, demi membebaskan narapidana kasus korupsi yang telah berusia di atas 60 tahun yang telah menjalani 2/3 masa tahanannya. “Ini namanya kebijakan menggunting dalam lipatan atau menusuk Presiden Jokowi dari belakang,” kritik Petrus.
Petrus menyebutkan rencana Menkum HAM itu untuk membebaskan napi koruptor di atas 60 tahun yang telah menjalani dua pertiga masa tahanannya maka diperkirakan sekitar 300 orang Napi korupsi akan dibebaskan.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi sebaikanya menolak gagasan dan rencana Yasonna Laoly yang rencananya akan membawa gagasan pembebasan Napi Korupsi dimaksud ke dalam rapat terbatas dengan Presiden untuk dimintai persetujuan kepada Presiden Joko Widodo.
“Memang selama ini terdapat upaya keras Yasonna Laoly yang berkeinginan untuk memberikan kemudahan bagi Napi Korupsi namun selalu mendapat resistensi, termasuk untuk kali ini dicoba lagi dengan memanfaatkan situasi Covid-19 demi koruptor,” ucap Petrus.
Lebih lanjut, Petrus menilai pembebasan kurang lebih 30.000 (tiga puluh ribu) Napi sebagai kebijakan terkait Covid-19 bertentangan dengan hukum dan bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi soal sosial distancing dan kebijakan karantina yang diperluas yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat Cq. Menteri Kesehatan.
“Covid-19 adalah sesuatu yang bersifat sementara dan salah satu pencegahannya adalah dengan membatasi ruang bergerak seseorang dengan cara mengisolasi diri sendiri,” katanya.
Sememtara Yasonna Laoly, menurut Peturs, secara terang-terangan ingin membebaskan tidak kurang dari 30 ribu Napi demi menghindari penyebaran Covid-19. “Apa ini bukan kebijakan yang kontraproduktif dan menggunting dalam lipatan,” kata Petrus.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich