jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH menanggapi terkait banyaknya pihak yang mendesak KPK membuka penyelidikan baru terhadap Bobby dan Kahiyang terkait perannya dalam pusaran kasus dugaan korupsi permainan izin usaha pertambangan (IUP) di Maluku Utara (Malut).
Menurutnya, desakan terhadap KPK segera menindaklanjuti fakta dalam sidang korupsi eks Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba, yang menyebut nama menantu dan anak Presiden Joko Widodo, itu sangat beralasan hukum.
BACA JUGA: Banyak Desakan agar Bobby Nasution Diperiksa, Bagaimana Sikap KPK?
Namun, KPK disinyalir menutup-nutupi peran Bobby dan Kahiyang dalam kasus yang populer dengan sebutan Blok Medan itu.
Menurut Petrus karena dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Andi Lesmana telah mengungkap istilah Blok Medan dalam pemeriksaan saksi Suryanto Andili, Kepala Dinas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku Utara untuk terdakwa AGK, sehingga diperoleh fakta bahwa istilah Blok Medan itu adalah gambaran pengurusan IUP Nikel di Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, yang diberikan kepada keluarga Bobby Nasution.
BACA JUGA: Bobby Nasution dan Kahiyang binti Jokowi Siap-siap Saja, KPK Buka Peluang Ambil Tindakan
"Keterangan saksi Suryanto itu telah diperjelas dan dibenarkan oleh terdakwa AGK bahwa IUP Nikel itu diberikan kepada Kahiyang Ayu, yang kemudian lebih populer disebut Blok Medan," kata Petrus di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Fakta lain yang juga penting untuk dilakukan penyelidikan, kata Petrus, adalah seputar pertemuan di Medan, Sumatera Utara, antara AGK dan timnya dengan Bobby Nasution apakah dilakukan sebelum IUP Nikel diberikan kepada Kahiyang Ayu atau sesudah IUP Nikel ditandatangani oleh pihak Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
BACA JUGA: Kahiyang & Bobby Disebut dalam Sidang Korupsi, Petrus Minta KPK Buka Penyelidikan Baru
"Pertemuan di Medan penting untuk didalami KPK karena menyangkut persoalan motif pertemuan dua pejabat yang sama-sama memiliki jabatan strategis di satu pihak, dan dugaan mengguritanya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) pejabat-pejabat di lingkungan Istana di pihak lain," jelas Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.
"Bagaimana pun Bobby dan Kahiyang adalah bagian dari dinasti politik Jokowi yang patut diduga telah terjadi nepotisme dalam pemberian IUP Nikel dan apa saja yang dibicarakan di Medan antara AGK dan Bobby ketika itu," imbuhnya.
Oleh karena itu, kata Petrus, sangat urgen untuk digali, dikembangkan dan dielaborasi oleh penyidik KPK dalam sebuah proses penyelidikan baru guna memastikan, apakah pemberian IUP Nikel kepada Kahiyang ini dilakukan sesuai prosedur atau tidak, apakah Kahiyang datang ke Maluku Utara, mengajukan permohonan IUP atau sebaliknya AGK yang ke Medan bertemu Kahiyang dengan sudah membawa IUP, dan apakah ada dugaan gratifikasi dari Kahiyang kepada AGK, atau sebaliknya dari AGK kepada Bobby.
Terkait lolosnya nama Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu dalam proses penyelidikan dan penyidikan di KPK, lanjut Petrus, baru terungkap dalam fakta persidangan oleh saksi Suryanto Andili dan terdakwa AGK.
"Maka perlu diselidiki apa alasannya dan darimana sumber informasi yang didapat JPU Andi Lesmana, sampai menggali nama Blok Medan serta minta saksi dan terdakwa membuka secara jelas misteri Blok Medan ini," cetusnya.
"Jika pengungkapan Blok Medan dalam persidangan dengan terdakwa AGK adalah bagian dari strategi untuk kepentingan memperkuat pembuktian dugaan keterlibatan Bobby dan Kahiyang dalam pemberian IUP oleh AGK, maka sekaranglah saatnya KPK membuka penyelidikan baru untuk yang bersangkutan," lanjutnya.
Untuk memastikan apakah telah terjadi upaya menutup-nutupi peran Bobby dan Kahiyang di satu pihak dan AGK di pihak lain dalam pemberian IUP Nikel itu, atau apakah terdapat upaya saling menyandera dan melindungi di antara mereka terkait Blok Medan, menurut Petrus, merupakan tugas Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk menyelidikinya, karena jika terjadi demikian, maka hal itu merupakan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Insan KPK dalam menjalankan tugas.
Petrus menilai, penyidik KPK patut diduga telah melakukan praktik penyidikan yang bertujuan melindungi terduga pelaku korupsi yang sesungguhnya, terkait dugaan pemberian gratifikasi dari para pemohon IUP Nikel kepada Gubernur Maluku Utara kepada perusahaan lain yang juga memohon IUP yang sama.
"Untuk mengungkap apakah praktik penyidikan yang bertujuan melindungi terduga pelaku korupsi yang sesungguhnya, dengan cara memproses hukum pelaku kelas teri atau pelaku yang tidak memiliki uang dan akses kekuasaan, maka Dewas KPK menjadi pintu masuk dalam membongkar praktik tebang pilih dalam penyidikan KPK, terlebih saat ini loyalitas penyidik tidak lagi kepada Pimpinan KPK, tetapi kepada pimpinan induk institusinya yakni Polri dan Kejaksaan Agung, sampai-sampai fungsi koordinasi dan supervisi KPK mandul," sesalnya.
KPK, tegas Petrus, tidak perlu ragu dan dalam situasi seperti saat ini seharusnya memilih apakah mau tetap loyal kepada kekuasaan atau kepada profesinya dan suara kebenaran yang adalah suara rakyat yang berdaulat.
"KPK harus menghentikan sekarang juga praktik loyalitas ganda penyidik yang selama lima tahun ini berkembang pesat. Akibatnya, saat ini KPK terkesan hanya sebagai alat penguasa yang digerakkan untuk mengeksekusi dan membidik kader-kader partai politik tertentu seperti yang dialami PDIP dengan berbagai manuver KPK yang tidak lazim," tandasnya.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean