jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha (ART) menyoroti persoalan utang pascatragedi kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, Banten yang menewaskan puluhan warga binaan pada Rabu (8/9) dini hari.
Rachman Thaha awalnya menyinggung pernyataan Menkumham Yasonna Laoly yang mengungkapkan instalasi listrik di Lapas Kelas I Tangerang belum pernah diperbaiki sejak bangunan itu berdiri pada 1972.
Diduga, itulah penyebab tragedi Lapas Tangerang. Terbakar lantaran korsleting listrik.
BACA JUGA: Karlina Dikirimi Video Kebakaran Lapas Tangerang, Ingat Adiknya di Block C2
"Keterusterangan menkumham dihargai. Namun apa boleh buat, kenyataan yang ia kemukakan tersebut merupakan satu potret tentang masih jauhnya kesungguhan kita dalam merealisasikan tujuan penghukuman yang kita tetapkan sendiri: pemasyarakatan," ucap Rachman Thaha, Kamis (9/9).
Dia menuturkan dengan tujuan pemasyarakatan, lapas berfungsi memberdayakan segala aspek guna mendukung para narapidana agar suatu saat dapat berintegrasi atau kembali ke tengah-tengah masyarakat sebagai warga negara yang tidak mengulangi perbuatan pidana, hidup produktif, dan bertanggung jawab.
BACA JUGA: Fakta-Fakta Kontroversial Bupati Banjarnegara, Kiai Chamzah Chasan Angkat Bicara
Pasalnya, dari kunjungan Rachman ke sekian banyak lapas untuk meneruskan titipan masyarakat bagi para warga binaan, banyak dari mereka yang menyampaikan kesungguhan hati untuk hidup lebih baik.
"Dan mereka pun berterus terang, program-program pembinaan perlu dibikin lebih substantif dan variatif, bukan semata-mata rutinitas alias menggugurkan kewajiban," ucap senator asal Sulawesi Tengah itu.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Informasi Istana Rembes, Pak Jokowi Marah, Nadiem Dapat Dua Permintaan
Walakin, dengan begitu dahsyatnya kebakaran Lapas Tangerang, Rachman selaku anggota Komite I DPD RI justru bertanya-tanya, bagaimana tujuan pemasyarakatan akan bisa direalisasikan maksimal jika masalah listrik pun terabaikan selama sekitar setengah abad.
"Pengabaian itu, terlepas karena khilaf maupun kesengajaan, faktanya telah menarik masalah pemasyarakatan di negeri ini ke persoalan paling mendasar. Yaitu, hidup matinya warga binaan. Hidup matinya manusia!:" ucapnya.
Anggota komite DPD yang membidangi masalah hukum dan HAM itu menyebut warga binaan memang orang-orang yang pernah berbuat kesalahan. Tetapi dia mengingatkan tujuan pemasyarakatan mengharuskan semua pihak untuk memandang dan menyikapi mereka sebagai sekumpulan insan yang memiliki potensi untuk berubah menjadi insan mulia dan bermanfaat.
"Alhasil, pemerintah dalam hal ini Kemenkumham memang sudah seharusnya meniadakan segala bentuk risiko yang secara mendasar bisa membahayakan nyawa warga binaan itu," ucap Abdul Rachman Thaha.
Dia mengatakan kebakaran di lapas semakin menyedihkan karena masalah pembenahan situasi lapas tenggelam dalam kampanye pemerintah selama ini. Kalah jauh dibandingkan kegairahan membangun infrastruktur bahkan pemindahan ibu kota negara yang oleh sangat banyak kalangan tetap dinilai tidak ada urgensinya.
BACA JUGA: Amendemen UUD, Hendri Satrio: Golkar Ini Pendekar Semua Isinya, Bro!
Kondisinya menurut dia diperburuk lagi oleh utang dan bunga utang negara yang kian menggunung. Bahkan, akal sehatnya mengatakan masalah pembenahan sarana dan prasarana lapas tampaknya akan semakin kalah prioritas.
"Lembaga DPD RI menantikan, dari utang baru yang diproyeksikan mencapai lima ratusan triliun (Rp 515,1 triliun, red), berapa besar yang akan pemerintah alokasikan untuk pembenahan fasilitas lapas dan program pembinaan warga binaan," ucap pria yang beken disapa dengan inisial ART itu.
Begitu pula, katanya, menunggu bagaimana pemerintah akan selekasnya menunjukkan rasa tanggung jawab atas meninggalnya puluhan warga binaan dan banyak lagi lainnya yang cedera.
"Membayangkan warga binaan sebagai orang-orang yang bertobat, kepedihan dan luka yang dialami para penghuni Lapas Tangerang semoga menjadi pelebur dosa mereka dan melipatgandakan amal kebaikan mereka di hadapan Allah Yang Maha Pemaaf," tandas Abdul Rachman Thaha. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam