Transaksi Obligasi Korporasi Semakin Tinggi

Rabu, 12 Maret 2014 – 07:40 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Transaksi obligasi korporasi di pasar sekunder terus mengalami peningkatan di awal tahun ini. Permintaan terhadap salah satu instrument investasi di pasar modal ini sedang meningkat sementara supply-nya masih relatif terbatas.

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sepanjang Februari 2014 transaksi obligasi korporasi di pasar sekunder senilai Rp 9,14 triliun dengan frekuensi sebanyak 907 kali. Nilai transaksi di bulan kedua awal tahun ini mengalami peningkatan 48,13 persen dibandingkan Rp 6,17 triliun pada Januari 2014.

BACA JUGA: Banjir Sentimen Positif

Secara year on year, transaksi obligasi korporasi pada Februari 2014 juga meningkat sebesar 8,29 persen dibandingkan Rp 8,44 triliun dengan frekuensi sebanyak 943 kali pada Februari 2013. Khusus pada Februari 2014, rata-rata frekuensi transaksi harian obligasi korporasi mencapai 40 kali senilai Rp 457,17 miliar.
       
Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Wahyu Trenggono, mengatakan transaksi obligasi termasuk obligasi korporasi saat ini masih terjadi di luar bursa atau disebut over the counter (OTC) meskipun hasil transaksinya tetap dilaporkan ke BEI karena produk investasi obligasi tercatat di lantai bursa.

"Namanya pasar OTC maka transaksinya hanya dilakukan antar pihak yang butuh. Kalau di bursa, semua orang bisa trading. Tapi kalau di OTC biasanya antar investor atau korporat secara langsung," ungkapnya kepada Jawa Pos, kemarin.
       
Wahyu menilai wajar jika terjadi peningkatan transaksi obligasi korporasi di pasar sekunder karena dibandingkan awal tahun lalu, suku bunga acuan saat ini relatif tinggi. Tingginya suku bunga acuan menyebabkan kelangkaan supply dari produk investasi jenis ini.

BACA JUGA: Penjualan Daihatsu Naik 18 Persen

"Dari IPO-IPO (obligasi korporasi) yang biasanya marak di awal tahun, tahun ini agak berkurang karena suku bunga sudah terlanjur tinggi, level (kupon bunga)nya sudah di antara 10 persen sampai 11 persen. Membuat emiten-emiten ragu mengeluarkan sekarang," ungkapnya.
       
Sebaliknya, kebutuhan terhadap obligasi korporasi selalu ada. Lembaga seperti dana pensiun, perusahaan manajer investasi, dan lainnya, tetap mengincar untuk bisa menyalurkan dananya agar terjadi diversifikasi portofolio. "Nah ini yang akhirnya membuat kalau dari pasar premier (IPO) tidak ada, ya beli di pasar sekunder," ulasnya.
       
Faktor konsolidasi portofolio memang memertimbangkan para pemilik dana untuk tetap memilih obligasi korporasi sebagai bagian dari penyaluran dana investasi. Terlebih kupon bunga obligasi perusahaan ini di atas rata-rata imbal hasil obligasi negara.

"Jadi ramainya transaksi bisa saja mereka (pemilik dana) lepas yang lama lalu ambil yang baru di pasar sekunder yang dianggap memberikan yield (imbal hasil) lebih tinggi," pikirnya.

BACA JUGA: Ingin Bangun Bandara Sendiri, Dahlan Iskan Minta Garuda Fokus Berbenah

Wahyu memerkirakan transaksi obligasi korporasi akan stabil di sepanjang tahun ini. Sebab produknya terbatas, tidak sebanyak obligasi negara. "Maka perubahan portofolio juga tidak akan terlalu sering. Transaksi akan dilakukan lagi sampai datang barang (obligasi korporasi baru) lebih bagus," terusnya.

Namun perkiraan ini bisa berubah seandainya Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan (BI rate). "Kalau misalnya BI rate naik pasti ada dampaknya ke obligasi karena akan tingkatkan suku bunga yang ada. Itu otomatis, kupon yang akan diterbitkan juga jadi tinggi dan menyebabkan yield ikut naik. Dengan BI rate sekarang 7,5 persen misalnya perusahaan yang punya rating AAA rilis obligasi tenor satu tahun, kuponnya kisaran 9 persen sampai 10 persen. Tapi kalau BI rate naik, itu tidak bisa lagi. Bisa jadi 10 persen sampai 10,5 persen," ulasnya.

Ekonom PT Bank Himpunan Saudara 1906 Tbk (SDRA), Rully Nova, mengatakan jika melihat inflasi tahun ini yang cenderung turun, besar kemungkinan dapat dilakukan penurunan BI Rate.

Namun dengan kondisi ekonomi dalam negeri yang belum stabil, khususnya neraca transaksi berjalan yang masih defisit maka kecil peluang terjadi penurunan BI rate. "Untuk Maret ini kemungkinan besar akan ditahan (7,50 persen)," katanya.
       
Meski begitu tidak dipungkiri masih ada ancaman bagi ekonomi Indonesia akibat defisit neraca perdagangan sehingga peluang BI rate naik pada sepanjang tahun ini masih terbuka. Potensi kenaikan antara 25 hingga 50 basis poin diperkirakan terjadi pada semester dua. "Tahun ini BI rate akan mencapai 8 persen karena kondisi eksternal dan internal," ujarnya.(gen)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Tegaskan Belum Ada Niat Matikan Merpati


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler