Transaksi Takjil Rp4 Miliar

Kamis, 18 Juli 2013 – 06:27 WIB
BOGOR–Siapa bilang bisnis takjil selama Ramadan hanyalah bisnis rumahan dengan perputaran uang yang minim. Di Bogor, perputaran uang bisnis usaha menengah kecil tersebut justru mencapai miliaran rupiah. 

Selama enam hari terakhir, perputaran uang untuk komoditas takjil Ramadan di Kota Hujan ternyata mencapai Rp4 miliar. Rata-rata transaksi harian diperkirakan mencapai Rp680 juta.
Jumlah tersebut belum termasuk belanja kuliner di "kaki lima" saat berbuka puasa, seperti di kafe tenda, warung pecel lele, atau pondok seafood. Transaksinya diperkirakan meningkat dua kali lipat, dari Rp3 miliar menjadi Rp6 miliar per malam.

Seorang pedagang takjil di Jalan Pajajaran, Erni mengaku sanggup menjual 200 bungkus setiap hari. “Bukan kolak saja, tapi ada lupis, mi golosor, dan gorengan. Harganya per bungkus Rp5.000, jadi omzet saya sekitar satu juta rupiah. Untungnya per hari Rp200 ribu,” terangnya.

Sedikitnya terdapat lima sentra takjil di Kota Bogor, yakni di Perumahan Yasmin, Jalan Tegalgundil Bantarjati, Jalan Suryakencana, Bundaran Air Mancur, dan kawasan Empang. Tak jarang, ramainya pasar tumpah musiman itu mengakibatkan kemacetan karena ramainya pengunjung.

Rata-rata di setiap kelurahan terdapat 10 pedagang takjil, sehingga diperkirakan terdapat 680 pedagang takjil di 68 kelurahan di Kota Bogor. Bila satu pedagang melakukan rata-rata transaksi Rp1 juta, maka perputaran uang untuk komoditas takjil sekitar Rp680 juta.

“Angka itu memang logis, sangat logis. Bogor memang cukup konsumtif, sehingga usaha kecil menengah (UKM) di bidang kuliner tak pernah sepi peminat,” kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Bogor, Erik Suganda kepada Radar Bogor (Grup JPNN), kemarin.

Erik mengatakan, kajian Kadin Kota Bogor terkait transaksi kuliner kaki lima selalu mencatat angka tinggi. “Dari sore hari, sekitar pukul 16:00 hingga menjelang dini hari, transaksi pedagang kaki lima sekitar Rp3 miliar. Pada Ramadan, meningkat 100 persen karena banyak warga berbuka puasa di luar rumah,” terangnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Bogor, Nusa Muktiaji mengatakan tingginya perputaran uang menggambarkan budaya konsumtif. “Budaya konsumtif itu cenderung berlebihan. Sejumlah komoditas yang biasaya tidak dikonsumsi, justru dicari saat Ramadan, seperti kue kering,” tandasnya.(cr17/d)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wacana Pansus Monorel Dinilai Politis

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler