jpnn.com - JAKARTA - Bom Samarinda yang terjadi Minggu (13/11) harus diusut tuntas. Terlebih yang jadi korbannya adalah anak-anak.
"Siapa pun pelakunya, apa pun agamanya, aksinya sama sekali tidak merefleksikan nilai-nilai religi," kata Reza Indragiri Amriel dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia), Senin (14/11).
BACA JUGA: Penegak Hukum Harus Amati Residivis Terorisme
Dalam Islam, misalnya, melakukan tindak perusakan ke rumah ibadah dan melancarkan kekerasan terhadap anak-anak--tak terbantahkan--merupakan dua tindakan yang dilarang keras, bahkan dalam situasi perang sekali pun.
Setelah kelompok-kelompok teror belakangan ini terindikasi melakukan perekrutan terhadap anak-anak, jangan sampai para manusia haus darah itu kini juga menyasar anak-anak sebagai sasaran mereka.
BACA JUGA: Pimpinan KPK Berencana Sowani Antasari untuk Silaturahmi
"Trauma, apa pun sumbernya, niscaya menyakitkan. Tapi trauma yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia (bencana kemanusiaan) berdampak lebih buruk ketimbang bencana alam," terangnya.
Karena itu, lanjut Reza, dibutuhkan penanganan komprehensif terhadap korban, khususnya anak-anak. Sebagaimana anak mengandalkan orangtua mereka sebagai pelindung, keluarga pun mengharapkan kehadiran otoritas terkait sebagai pemberi jaminan keamanan. Itu berarti, semakin cepat dan efektif penanganan oleh otoritas berwenang, dan langkah-langkah penanganan itu disaksikan keluarga korban, semakin solid pula pondasi bagi pulihnya kondisi anak-anak yang menderita trauma.
BACA JUGA: Ssttt... Jumlah Tersangka Korupsi e-KTP Bakal Bertambah
Tindakan kekerasan seperti di Samarinda, apalagi jika secara sengaja ditujukan pada anak-anak, merupakan kejahatan yang sangat keji. Kekerasan dalam operasi pemberantasan teror, seperti yang disaksikan oleh anak-anak TK di Klaten beberapa waktu lalu, juga pada dasarnya bukan sesuatu yang bisa ditoleransi.
Keduanya masalah serius. Namun jangan sepelekan efek kekerasan verbal dan psikis terhadap anak-anak, termasuk kekerasan di masyarakat (community violence), berupa penghinaan dan ungkapan-ungkapan peyoratif lainnya seperti yang kerap diperagakan oleh sebagian elit dan kian marak pada masa kontestasi politik.
"Kekerasan lisan di masyarakat barangkali tidak seketika memunculkan guncangan psikis. Tapi sebaliknya; terbiarkannya kekerasan semacam itu bisa memberikan pembelajaran kontraproduktif kepada anak-anak, bahwa kekerasan psikis dan lisan ternyata merupakan bentuk perilaku yang dimaklumi,” katanya.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Buah Pak Buwas Teliti Pipis Pimpinan dan Pegawai KPK
Redaktur : Tim Redaksi