Trend Asia: Perkebunan Energi Ancam Hutan Kalimantan Barat

Minggu, 22 September 2024 – 13:03 WIB
Perwakilan dari Trend Asia, band LAS!, serta warga adat Dayak Kualan saat mengunjungi salah satu kawasan deforestasi di Kualan Hilir, Kalimantan Barat. Foto: Dok. Trend Asia

jpnn.com, KETAPANG - Proyek biomassa kayu yang dianggap bagian dari transisi energi bersih justru dinilai menimbulkan deforestasi, menghancurkan lingkungan, dan memperburuk krisis iklim.

Hal tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk No Music On A Dead Planet, yang dihadiri perwakilan dari Trend Asia, band LAS!, Walhi, aktivis lingkungan, komunitas, penggemar, media, dan lainnya di Ketapang, Kalimantan Barat baru-baru ini.

BACA JUGA: LAS! Dukung Perjuangan Masyarakat Adat Lawan Deforestasi

"Kalimantan Barat telah bertahun-tahun didera oleh kerusakan lingkungan oleh pertambangan, perkebunan, dan industri perkayuan. Kini ancamannya ditambah oleh kayu energi, yang bahkan dihiasi dengan klaim transisi ‘energi bersih’,” kata Bayu Maulana, juru kampanye energi Trend Asia.

Diskusi menyoroti langkah pemerintah merencanakan penggunaan kayu sebagai bahan bakar oplosan dalam PLTU batu bara dalam proses co-firing yang disebut mengurangi emisi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Kebakaran Hutan Dekat Athena, Api Berkobar Hingga 25 Meter

Pemerintah bahkan punya rencana ambisius dengan porsi 10 persen di seluruh Indonesia. Namun pada kenyataannya, kebutuhan lahan masif yang ditimbulkan memunculkan
risiko deforestasi, bencana lingkungan, dan konflik lahan dalam skala masif.

Dalam riset 'Ancaman Deforestasi Tanaman Energi' Trend Asia menunjukkan bahwa penggunaan lahan dibutuhkan hingga 2,3 juta hektare atau 33 kali luas Jakarta untuk memproduksi bahan bakar kayu co-firing 10 persen di seluruh PLTU Indonesia. Jumlah itu mustahil dipenuhi tanpa konflik lahan dan deforestasi.

BACA JUGA: Kementan Percepat Luas Tambah Tanam Padi di Kalimantan Selatan

"Di Kualan Hilir, kami baru menyaksikan deforestasi masif yang diduga dilakukan oleh PT Mayawana Persada. Sejak 2021 hingga 2023 saja mereka menimbulkan deforestasi 33 ribu hektare. Dalam proses ini mereka menghancurkan keragaman hayati dan merampas lahan masyarakat adat dengan perusakan paksa, kriminalisasi, dan intimidasi," jelas Bayu Maulana.

“Dengan meluasnya pengembangan kayu biomassa untuk listrik, praktik semacam ini akan semakin marak terjadi," sambungnya.

Adapun status biomassa kayu sebagai sumber energi netral karbon juga masih dipertanyakan.

Trend Asia melalui riset Adu Klaim Menurunkan Emisi menemukan bahwa ketika melibatkan deforestasi, pembakaran kayu untuk listrik akan menimbulkan utang karbon yang memakan waktu puluhan tahun untuk dilunasi.

Penelitian Trend Asia menemukan bahwa proses produksi kayu tersebut akan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton emisi karbon.

Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Hendrikus Adam mengatakan pemerintah Indonesia memiliki komitmen menekan laju emisi karbon, namun dalam perjalanannya menjadi terkesan ambigu.

Sebab, banyak wilayah hutan dan lahan gambut yang seharusnya dilindungi, malah diberikan kepada sejumlah perusahaan perkebunan dan pertambangan untuk dibabat, hanya karena dalih mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, adanya rencana pembangunan PLTN yang jelas-jelas akan berdampak besar bagi lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat.

"Saya rasa ini harus menjadi perhatian bersama, untuk meluruskan komitmen awal pemerintah terhadap lingkungan," beber Adam.

Sementara itu, Lead Training Lembaga Gemawan, Arniyanti Arni mengatakan dalam menyikapi isu lingkungan, NGO (organisasi non-pemerintah) yang fokus di bidang ini harus memanfaatkan teknologi dalam menjalankan program kerjanya.

Beberapa di antaranya yakni pemanfaatan media sosial untuk kampanye lingkungan harus lebih masif agar bisa menyentuh generasi muda yang menjadi penerus dalam merawat keberlangsungan lingkungan yang lebih
baik.

"NGO juga harus meningkatkan kerja samanya dengan menggandeng sejumlah pihak terkait, seperti musisi dan influencer serta media untuk menyuarakan keberlangsungan lingkungan yang lebih baik agar bisa meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat agar bersama-sama menjaga lingkungan kita," beber Arni.

Diskusi No Music On A Dead Planet dilaksanakan sekaligus sebagai rangkaian BABLAS Tour yang digelar band LAS! dari Pontianak.

LAS!, yang memiliki fokus khusus pada isu kerusakan lingkungan di Kalimantan Barat, bekerja sama dengan Trend Asia dan Link-AR (Lingkaran Advokasi dan Riset) Kalimantan Barat untuk mengadakan rangkaian konser dan diskusi di kota Sambas, Ketapang, dan Sintang.

No Music On A Dead Planet adalah kolektif yang terdiri dari seniman dan profesional di industri musik yang berkomitmen untuk menyuarakan isu iklim dan lingkungan.

LAS! sebagai band asal Pontianak yang tergabung dalam kolektif No Music On A Dead Planet. Musik LAS! dapat dikategorikan sebagai rock alternatif dengan sentuhan folk Dayak.

Pemilik lagu Borneo is Calling itu aktif menyuarakan isu sosial dan lingkungan kepada basis penonton yang cukup kuat di wilayah Kalimantan Barat.

"Semoga kita makin tergerak untuk melawan krisis iklim," ucap Bob Gloriaus, vokalis LAS!.

Saat kunjungan bersama Trend Asia dan Music Declares Emergency, LAS! datang ke kawasan Desa Kualan Hilir, Ketapang.

Para personel bahkan menginap bersama masyarakat adat Dayak Kualan. Di sana, LAS! mendengar keluhan masyarakat adat yang terkena dampak kerusakan lingkungan dan deforestasi.

Sejumlah warga mengeluhkan dugaan perampasan lahan yang diduga dilakukan oleh PT Mayawana Persada (MP). Seperti masyarakat Lelayang dan Gensaok yang menyebut MP sudah melakukan penggusuran, perebutan lahan, hingga intimidasi kepada masyarakat adat.

Mendengar keluhan warga setempat membuat personel LAS! merasa prihatin.

Menurut Bob Gloriaus LAS!, perampasan lahan dan penggusuran hutan adat merupakan tindakan yang tidak manusiawi.

Sebab, hal tersebut berdampak bagi masyarakat yang terancam kesulitan mencari sumber penghasilan serta merasakan dampak bencana, seperti banjir dan cuaca panas.

"Mereka bilang, kalau kehilangan hutan, kita mau makan, berdoa, cari selamat di mana lagi," ucap Bob Gloriaus LAS!. 

(ded/jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler