Trik Unik Densus 88, Bikin Teroris Menangis Menjerit-jerit

Jumat, 05 Agustus 2016 – 05:55 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam acara Dialog Bersama Kapolri di kantor Center for Dialogue and Cooperation among Civilitation (CDCC). Foto: Imam Husein/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkap trik unik yang dilakukan Densus 88 Anti Teror untuk mengurangi resiko saat menangkap terduga teroris. 

Salah satunya dengan menyamar menjadi sopir angkot agar memancing terduga teroris keluar dari rumah tanpa perlawanan. 

BACA JUGA: Indonesia Tegaskan tak Ada Kompromi Hadapi IUU Fishing

Hal tersebut disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam acara Dialog Bersama Kapolri di kantor Center for Dialogue and Cooperation among Civilitation (CDCC), Jakarta, kemarin. 

Tito menuturkan, penangkapan dengan menyamar sebagai sopir angkot itu terjadi pada penangkapan dua anggota teroris jaringan Rois Darmawan Mutho, yakni Apuy dan Hasan pada 2004. Saat itu posisinya Rois dan Sogir, dua jaringan lain telah tertangkap. 

BACA JUGA: Benang Kuning Jokowi-Ahok

”Dari keduanya pelaku pengeboman Kuningan itulah diketahui Apuy dan Hasan ini memiliki dua bom dan dua senjata,” tuturnya Tito Karnavian dalam acara Dialog Bersama Kapolri di kantor Center for Dialogue and Cooperation among Civilitation (CDCC). 

Bahkan, Rois menyebutkan bahwa mereka memiliki kesepakatan kalau tidak balik ke rumah saat maghrib.  ”Waktu sudah mepet, saat itu sudah pukul 16.00. kami tentu harus putar otak,” ujarnya,

BACA JUGA: Hamdalah, KTT WIEF ke-12 Berjalan Aman

Dengan informasi itu plus pemahaman bahwa anggota terorisme mencari mati karena ingin mati syahid, maka penangkapan tidak bisa dilakukan dengan cara biasa. ”Kalau standarnya, mereka dikepung, disuruh menyerah dan disergap. Kalau cara itu dilakukan, bom itu pasti diledakkan,” terangnya.

Tito menjelaskan, maka harus ada cara memancing mereka keluar rumah yang berada di kampung Kaum, Leuwiliang, Bogor. Menyamar menjadi sopir angkot itulah kemudian ditempuh. 

”Anggota Densus menyamar jadi sopir angkot, lalu bertamu dan mengabarkan bahwa Rois dan temannya terlibat kecelakaan,” paparnya.

Saat itu, keduanya anggota kelompok teror itu mau untuk keluar rumah dan berencana berangkat ke rumah sakit. Nah, saat di angkot itu, keduanya disergap. ”Mereka diikat dan tidak bisa bergerak,” ujarnya.

Tapi, siapa sangka ternyata mereka menangis dan menjerit-jerit. Para anggota Densus kebingungan  tak tau mengapa keduanya menangis. 

”Saat sudah di kantor, saya Tanya keduanya mengapa kok menangis,” ujarnya. Ternyata, keduanya menjawab menyesal karena tidak bisa melawan dan mati syahid. 

Lalu, Tito bertanya pada keduanya, mengapa tidak bunuh diri saja sekarang. ”Kalau bunuh diri ya masuk neraka,” ujar Tito menirukan jawaban keduanya. 

Menurut Tito, kondisi semacam itulah yang kerap kali terjadi dalam penyergapan seorang anggota terorisme. ”Kalau kami tidak menempuh cara semacam itu, maka korban bisa banyak,” paparnya.

Dengan begitu, dapat diketahui bahwa doktrin dari paham radikal sudah begitu kuat mengakar pada jaringan teror. Hal tersebut tentunya perlu untuk dicegah bersama. ”Penegakan hukum telah dilakukan. Tapi, perlu diakui pencegahannya berkembangnya paham radikal masih belum efektif,” terangnya.

Sementara Ketua CDCC Din Syamsudin menuturkan bahwa umat Islam dengan pemahaman radikal semacam itu sangat minoritas di Indonesia. Bahkan, terkadang faktor-faktor lain dibalut dengan faktor agama. ”Tentunya, ini berbahaya,” jelasnya.

Namun begitu, semua itu merupakan tantangan yang harus dihadapi dan dipahami. Dia menuturkan, pencegahan bsia dilakukan secara efektif bila dilakukan bersama. ”Pemerintah dan masyarakat bsia bekerja bersama,” terangnya. (idr)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bareskrim Kembali Bekuk Penebar Kebencian di Facebook


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler