jpnn.com, MEDAN - Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan mengatakan untuk mengusung calon untuk maju di Pilgub Sumut 2018 ternyata tidak mengeluarkan dana yang sedikit.
Besarnya biaya politik calon kepala daerah, diakuinya tidak terlepas dari tidak konsistennya masyarakat. Bahkan, dia menilai masyarakat malah menjadikan calon kepala daerah sebuah komiditi.
BACA JUGA: Hasto Tegaskan PDIP Tak Berhasrat Bekukan KPK
"Rakyat ingin pemerintahan yang bersih, tapi ketika ada calon kepala daerah yang ingin maju malah dijadikan komiditi,” katanya kepada wartawan usai acara Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) DPD PDIP Sumut di Hotel Danau Toba, Sabtu (9/9) kemarin.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI ini mencoba merinci biaya yang dibutuhkan bagi calon Gubernur di Sumut yang terdiri dari 33 kabupaten/kota.
BACA JUGA: Warga NU Desak Megawati Pilih Calon Ini Untuk Jatim
"Berapa banyak timses (tim sukses) yang harus dibentuk di setiap kabupaten/kota," bebernya.
Belum lagi, tambah dia, biaya sosialisasi seperti mencetak baliho. "Berapa harga satu baliho, biaya cetaknya, biaya masangnya. Ada lagi kaos yang akan dicetak," bebernya.
BACA JUGA: Baru Bebas, Ustaz Alfian Tanjung Kembali Dibekuk Polisi
Di sisi lain, setiap calon kepala daerah juga harus menyiapkan uang setiap bertemu dengan konstituennya. "Bisa di breakdown semua biaya yang dibutuhkan, jumlahnya tidak sedikit, apalagi jumlah pemilih di Sumut di atas 7 juta jiwa," terangnya.
Khusus PDIP, kata dia, juga akan mempertanyakan kesiapan dana calon yang akan diusung.
"Bagi PDIP itu yang paling penting bisa mengamankan uang saksi. Ada standarisasi di PDIP untuk setiap TPS memiliki 2 saksi, satu saksi di dalam dan satu lagi saksi di luar. Honor masing-masing saksi itu Rp150-200 ribu. Kalau PDI-P itu saja, tapi rakyat minta ini itu kepada calon kepala daerah, itu yang susah," paparnya.
Lebih jauh, Trimedya mencontohkan setiap orang yang ingin menjadi calon bupati harus menyiapkan uang minimal Rp30 miliar.
"Kalau boleh jujur mau jadi Bupati itu minimal punya uang Rp30 miliar. Setelah terpilih, berapa gajinya, berapa tunjangannya. Itu harus dipikirkan pemerintah besaran biaya dengan gaji yang akan diterima kepala daerah," jelasnya.
Disebutkannya, untuk mengembalikan modal atau cost politik yang dikeluarkan, maka kepala daerah akan menggarong proyek. Karena itu yang paling gampang. "Maju jadi kepala sekolah bayar, guru mau pindah juga bayar. Itu semua dijadikan komoditi oleh kepala daerah ketika sudah duduk, kalau terus seperti itu maka daerah tersebut tidak akan maju," tegas pria berkacamata ini.
Persoalan sistem demokrasi di Indonesia yang begitu kompleks, diakui Trimedya sudah pernah disampaikannya kepada Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan.
"Saat rapat di DPP, saya sampaikan masalah ini ke Pak Pahala. Beliau terkejut, dengan masalah ini. Jadi kami meminta kepada KPK agar menyampaikan kepada masyarakat agar tidak menjadikan calon kepala daerah sebagai komuditi," sebutnya.
Mengenai calon yang akan diusung PDIP di Pilgubsu 2018, disebutkan Trimedya akan diumumkan paling lambat akhir September. Apalagi, seluruh Balon Gubsu yang melamar ke PDIP Sumut akan menjalani fit and proper test.
"Mudah-mudahan akhir bulan ini sudah diputuskan siapa yang akan diusung. Penentunya adalah hasil survei. Apakah hasil survei memungkinkan atau malah tidak, kalau hasil survei jelek tidak akan mungkin diusung," bilangnya.
Selain hasil survei, Trimedya juga mengatakan PDIP akan melihat rekam jejak calon yang akan diusung. "Nanti akan kami koordinasikan dengan Polda, Kejati, Kejari, Polres setempat untuk melihat rekam jejaknya," tuturnya.(dik)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PDIP: Isu Rohingya Sudah Digoreng Buat Serang Jokowi
Redaktur & Reporter : Budi