Masalah imigrasi dan penduduk gelap tanpa dokumen menjadi salah satu topik yang menjadi perhatian saat pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini.

Donald Trump, yang dipastikan akan menjadi presiden, pernah berjanji akan melakukan deportasi terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Tiga Orang Ditangkap Terkait Meninggalnya Penyanyi Liam Payne

Kebijakan Trump soal imigrasi membuat banyak orang khawatir, termasuk sejumlah warga asal Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat tanpa dokumen resmi.

Salah satunya adalah Dinda, bukan nama sebenarnya, yang datang dengan turis visa dan sudah dua tahun terakhir bermukim di Amerika Serikat.

BACA JUGA: Sri Mulyani Akui Kemenangan Donald Trump Punya Pengaruh Besar

"Sekarang saya kerja sebagai pramusaji, dibayar US$2,50 per jam tetapi kebanyakan penghasilan saya berdasarkan tip dari tamu," tutur Dinda yang mengaku bisa memperoleh rata-rata US$5.000 per bulan.

Ia sadar status kependudukannya di Amerika Serikat bermasalah dan sedang mengurus untuk menjadikannya legal. 

BACA JUGA: Donald Trump Menang, Indonesia Perlu Waspadai Fluktuasi Pasar

"Saya berusaha mengurus izin kerja saya sejak Maret lalu, dan sepertinya sebentar lagi akan keluar," kata Dinda kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Tapi dengan terpilihnya Donald Trump, Dinda jadi khawatir.

"Soalnya surat-surat saya belum di tangan, takutnya nanti aplikasi saya di-review lagi dan bakal kenapa-napa."

"Apalagi menurut teman-teman di sini, zamannya Trump dulu tuh sering ada razia pekerja, kalau ketahuan ilegal langsung dideportasi."

Dinda menceritakan di tempatnya bekerja ada beberapa orang yang berstatus ilegal seperti dirinya, kebanyakan dari Meksiko.

"Bos-bosnya di sini enggak terlalu peduli status kita karena mereka perlu orang yang mau kerja, … bahkan kalau ilegal, bosnya malah bisa bayar gaji lebih rendah."Ingin menetap secara legal

Berbeda dengan Dinda, Michael Widjaja sudah tinggal di Amerika Serikat secara legal selama 10 tahun dan bekerja sebagai perawat.

Sekarang Michael menjadi pesimis dengan pengajuan 'Green Card' atau izin menetap yang sedang diurusnya.

"Dalam 12 jam terakhir ini saya mulai memikirkan alternatif lain seandainya aplikasi ini tidak berjalan dengan semestinya," ujarnya kepada Natasya Salim.

"Saya mulai memikirkan ke mana saya harus pindah."

Tapi, Michael Walter Sopacua, pria berdarah Ambon yang kini sudah berstatus warga negara Amerika Serikat punya pendapat lain.

Pria yang akrab dipanggil Aiky ini mengatakan ia dan istrinya butuh waktu hampir sepuluh tahun untuk bisa mendapatkan 'Green Card' sampai dapat bekerja dan akhirnya menjadi warga negara.

"Jadi kita menjalani aturan hukum yang ada, kita bukan imigran yang memaksakan segalanya harus sesuai kemauan kita."

Aiky merasa administrasi Joe Biden dan Kamala Harris seperti memberikan jalan pintas bagi para pendatang gelap. 

"Dan Trump melihat itu dan berpendapat 'No. America first'," katanya.

Inilah yang jadi alasan ia lebih mendukung dan memilih Donald Trump.

"Anda boleh datang ke sini, kami akan menyambut Anda dengan tangan terbuka karena kami memerlukan keterampilan Anda, tapi lakukan itu melalui cara yang benar," kata Aiky.

"Kalau tidak, ini tidak adil untuk kami yang bekerja keras, yang bangun pagi-pagi, ikut aturan, karena pajak kami dipakai untuk para pendatang ilegal."

Lia Sundah Suntoso, warga Indonesia yang sudah menjadi pengacara imigrasi di New York lebih dari 20 tahun, mengatakan sebenarnya antara Donald Trump dan Kamala Harris tidak ada yang menawarkan pilihan terbaik bagi warga imigran, khususnya imigran ilegal.

Lia memiliki beberapa kasus dari imigran yang menginginkan jalan untuk bisa menetap di Amerika Serikat, termasuk pencari suaka.

Menurutnya proses pengurusan visa menetap di era Joe Biden dan Kamala Harris membutuhkan waktu lama bahkan tak kunjung selesai.

"Setidaknya kalau Trump yang terpilih kita jadi tahu siapa yang dihadapi … dari pada kita di PHP [pemberi harapan palsu] mulu," ujarnya.

"Saya rasa politisi harus berhenti menggunakan imigran atau semua yang terkait dengannya sebagai pion," ujarnya, yang tak ingin masalah imigrasi dipolitisasi.

"Karena sebenarnya ini menyangkut manusia."

Lia menjelaskan angka deportasi di era pemerintahan Barrack Obama sebenarnya lebih tinggi dibandingkan saat Trump menjabat.

Menurut laporan kantor berita AP, jumlah deportasi yang dilakukan saat Trump menjabat tidak pernah melebihi 350 ribu orang, sementara di era Obama tercatat ada 432 ribu orang di tahun 2013, yang menjadi jumlah tertinggi tahunan saat itu.

"Sebagai pengacara imigrasi, saya ingin ada sistem yang komprehensif yang bisa berlaku adil," ujar Lia.

"Bagi saya adil itu adalah mendahulukan orang-orang yang sudah ada di sini [Amerika Serikat] … karena mereka tinggal di sini dan bayar pajak di sini."Lega dan bahagia Trump menang

Dalam pilpres Amerika Serikat kali ini, tidak sedikit warga pendatang dan warga bukan kulit putih seperti Aiky yang mendukung Donald Trump terlepas dari kebijakan imigrasinya.

Aiky mengatakan dukungannya terhadap Trump disebabkan banyak program dan kebijakan di bawah kepemimpinan Biden-Harris yang dianggapnya malah merugikan warga Amerika.

"Dulu tidak ada perang … selama memerintah empat tahun dia [Trump] tidak menciptakan perang," tutur Aiky, merujuk pada pajak yang dibayarnya untuk membantu perang Ukraina.

"Yang saya rasakan selama empat tahun kepemimpinan dia, it was really blooming … my paycheck was good, sekarang inflasinya tinggi."

"Jadi kalau sekarang dari ujung sampai ke ujung lain di Amerika semuanya merah, itu karena orang Amerika sudah merasakan [yang pernah dilakukan Trump]."

Selain itu, Aiky merasa nilai-nilai yang dianutnya sebagai umat Kristiani lebih sejalan dengan Trump.

"Soal aborsi yang diangkat oleh Kamala, itu [menunjukkan] value-nya sudah enggak ada, … boleh kamu aborsi, tapi ada aturannya, bukan kamu bisa melakukan apa pun yang kamu suka."

Aiky juga tidak setuju dengan kebijakan yang memperbolehkan mereka yang belum dewasa untuk menjalani  'gender-affirming care' tanpa persetujuan orangtua, seperti yang berlaku di beberapa negara bagian.

"Negara ini adalah tolok ukur kebebasan, tapi kebebasan yang berdasarkan aturan, ada hukum dan peraturan yang berlaku, ada nilai-nilai luhur yang harus dipegang."Marah karena Trump menang

Meski tidak bisa memilih karena bukan warga Amerika Serikat, Michael mengaku mendukung Kamala Harris yang sama-sama berasal dari latar belakang bukan warga kulit putih.

"Saya mendukung Harris karena ia adalah perempuan kulit berwarna, sama seperti saya, seorang imigran, dan orang kulit berwarna."

"Saya khawatir xenofobia [ketidaksukaan terhadap warga asing] dan isu rasisme ketika Trump menjadi presiden akan semakin parah, juga jika ia meloloskan RUU deportasi," katanya.

"Ini berbeda dengan Harris, yang juga adalah perempuan kulit berwarna. Saya rasa hal ini menjadi hal terakhir di benaknya."

“Ia [Trump] adalah seorang narapidana, sementara Harris adalah kandidat presiden yang lebih layak,” ujar Michael kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Michael yang juga bekerja sebagai perawat di Seattle mengatakan kebijakan layanan kesehatan yang ditawarkan Trump "mengkhawatirkan".

"Ini karena Trump membuat kebijakan medis berdasarkan perspektif pembuat kebijakan, bukan ahli kesehatan," katanya.

"Menurut saya kabinet administratif Trump juga akan membuat layanan kesehatan lebih sulit untuk diakses."

Namun dari awal Michael memang sudah meragukan potensi Kamala Harris untuk memenangkan Pemilu Amerika, karena menurutnya "warga Amerika tidak menginginkan presiden perempuan".

Kembali ke Dinda yang sedang berusaha bisa bekerja secara legal di Amerika Serikat, ia berharap Trump benar-benar memikirkan kebutuhan Amerika yang dipenuhi oleh tenaga kerja asing yang ilegal.

"Ya memang sih kita tahu kita salah, tapi mungkin Presiden Trump bisa memikirkan kerja sama dengan Indonesia," kata Dinda.

"Misalnya bikin semacam WHV [program Work and Holiday Visa] yang dimiliki Australia, karena memang tenaga kami diperlukan," tambahnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dampak Pemilu AS, Harga Bitcoin Tembus Rp1,2 Miliar

Berita Terkait