jpnn.com, WASHINGTON - Efek keberhasilan Partai Demokrat menguasai House of Representatives lewat pemilihan sela terus menggelinding. Memicu kecemasan di Gedung Putih. Jeff Sessions pun jadi korban.
Kemarin, Kamis (8/11), jaksa agung Amerika Serikat (AS) itu dilengserkan Presiden Donald Trump. "Jelas ada hal yang ingin disembunyikan presiden," ujar senator Chuck Schumer atas keputusan presiden ke-45 AS itu seperti dilansir BBC.
BACA JUGA: Pembantaian di Bar Thousand Oaks, Awalnya Asap
Kemenangan Demokrat dan Sessions memang punya hubungan erat. Dengan menjadi mayoritas di House of Representatives, Demokrat bisa mendorong penyelidikan terhadap Trump.
Baik itu terkait dugaan keterlibatan Rusia dalam Pilpres 2016 AS, laporan pajaknya, maupun berbagai hal lainnya. Komite-komite di majelis rendah yang bertugas menyelidiki biasanya dipimpin anggota dari pemegang kursi mayoritas.
BACA JUGA: Cekcok dengan Trump, Wartawan CNN Dicekal Gedung Putih
Di pihak lain, sejak Maret tahun lalu Sessions memilih tak ikut campur dalam penyelidikan pilpres (pemilihan presiden) yang dipimpin mantan Direktur FBI Robert Mueller. Langkah yang diambil mantan senator Alabama itu kerap menjadi bahan kritikan Trump.
Sebab, menurut dia, Sessions seharusnya menghalangi penyelidikan tersebut. Dalam berbagai wawancara, Trump menyatakan penyesalannya telah memilih Sessions sebagai jaksa agung.
BACA JUGA: Seru! Trump Adu Mulut dengan Wartawan di Gedung Putih
Jika Sessions tetap menjabat dan Demokrat punya kuasa untuk memulai penyelidikan, itu bisa menjadi ancaman bagi Trump. Target utama Trump sejatinya bukan Sessions, melainkan Mueller. Dia ingin menghalangi penyelidikan yang dilakukannya.
"Pemecatan itu adalah pola yang jelas atas intervensi yang dilakukan Trump terhadap penyelidikan Mueller," tegas Jerry Nadler, salah seorang anggota DPR AS dari Demokrat.
Nadler digadang-gadang mengetuai Komite Yudisial di DPR. Sejak ditunjuk, Mueller telah mendakwa dan mendapat pengakuan bersalah dari 32 orang dan beberapa perusahaan.
Setali tiga uang, senator Richard Blumenthal melontarkan kritik serupa. Dia menegaskan bahwa Trump telah merusak aturan proses suksesi jaksa agung. "Ini seperti slow motion-nya Saturday Night Massacre yang terjadi di masa Presiden Nixon," ujarnya.
Itu merujuk pada skandal Watergate pada 1970-an yang berujung pada pengunduran diri Nixon. Kala itu Nixon menolak memberikan rekaman pembicaraan di Gedung Putih. Dia malah menyuruh Jaksa Agung Elliot Richardson memecat Archibald Cox, jaksa khusus yang menyelidiki kasus Watergate. Richardson dan wakilnya, William Ruckelshaus, memilih tak mematuhi Nixon dan mengundurkan diri.
Pemecatan Sessions memang menjadi ancaman bagi penyelidikan Pilpres 2016. Terlebih, pengganti politikus 71 tahun itu dikenal sebagai pendukung Trump. Dia adalah Matthew Whitaker.
Sebelumnya dia menjabat kepala staf di Kejaksaan Agung. Whitaker memang hanya menjadi pejabat sementara, tapi keberpihakannya sudah terasa sejak lama.
Dalam artikel yang diterbitkan CNN tahun lalu, Whitaker menyerukan agar pengusutan Mueller dibatasi dan memblokir peninjauan terhadap keuangan keluarga Trump.
Dia juga menulis di USA Today 5 Juli 2016 tentang keinginannya untuk mendakwa Hillary Clinton karena membocorkan dokumen rahasia saat masih menjadi Menlu AS. (sha/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilu Pilu dari Lima Srikandi Amerika
Redaktur & Reporter : Adil