Tuduh MK Langgar Hukum, SDI Eksaminasi Putusan Sengketa Pilkada Yalimo

Jumat, 19 November 2021 – 20:21 WIB
Ilustrasi - Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Ricardo/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 145/PHP.BUP-XIX/2021, dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Yalimo Provinsi Papua dinilai sangat dangkal dan kontroversi.

Bahkan telah menciderai prinsip demokrasi dalam Pemilihan Umum serta asas keadilan dan kepastian hukum.

BACA JUGA: Permohonan Sengketa Pilkada Boltim Ditolak MK, Ini Tanggapan Suhendro Boroma

Itu menjadi salah satu poin yang disampaikan Sarekat Demokrasi Indonesia (SDI) dalam eksaminasi publiknya terkait putusan tersebut.

"Kedua, MK juga diduga telah melanggar hukum acara yang sudah ditetapkan oleh undang-undang karena tidak melakukan pemeriksaan terhadap saksi fakta dan ahli," ujar M. Andrean Saefudin Ketua Umum Pengurus Pusat SDI dalam siaran persnya, Jumat (19/11).

BACA JUGA: Perkara Sengketa Pilkada Kalsel Berlanjut ke Acara Pembuktian, Begini Respons Denny Indrayana

Poin lainnya, MK dianggap tidak konsisten dalam menerapkan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Keempat, MK diduga telah menyelundupkan kewenangannya dengan mendiskualifikasi pasangan calon Bupati-Wakil Bupati mengenai persyaratan calon karena sengketa administrasi merupakan kewenangan Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sesuai dengan ketentuan perundangan.

BACA JUGA: Jelang Putusan MK, AnandaMU Optimistis Hakim Kabulkan Gugatan Sengketa Pilkada Banjarmasin

Terakhir, MK dinilai tidak berwenang memberikan pertimbangan hukum terkait kasus pidana umum atas nama Erdi Badi, S. Sos, yang sudah diselesaikan secara hukum adat Papua sehingga tidak dapat diperiksa kembali pada Pengadilan Negara (Pengadilan Negeri), sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1664K/Pid/1988 tertanggal 15 Mei 1991, dan seseorang tidak dapat dihukum dua kali untuk kasus yang sama (azas nebis in idem).

Andrean menambahkan, eksaminasi putusan adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putusan hakim apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat.

"Pengujian secara ilmiah atau akademik (eksaminasi) terhadap putusan hakim adalah hak warga negara, khususnya para ahli hukum. Eksaminasi publik dapat dikatakan sebagai bagian dari open assessment terhadap kinerja hakim dalam memutuskan sengketa pilkada," kata Andrean.

Tak hanya itu, lanjutnya, eksaminasi dapat menjadi pembanding atau comparative analysis terhadap putusan hakim, sehingga untuk jangka panjang, putusan- putusan hakim di masa datang akan semakin berkualitas.

Menurutnya, keterlibatan publik dalam melakukan pengawasan diharapkan memberikan suatu masukan yang sangat berarti untuk melahirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

"SDI sebagai organsisasi yang konsisten bergerak dan bertanggungjawab dalam pemajuan demokrasi asli di Indonesia telah melakukan eksaminasi publik terhadap putusan MK No. 145/PHP.BUP-XIX/2021, dalam sengketa Pilkada Kabupaten Yalimo Provinsi Papua," tuturnya.

Dikatakannya, eksaminasi publik ini juga secara resmi telah dikirim ke Presiden Joko Widodo dan instansi penegak hukum lainnya. "Harapannya, agar hal prinsip terkait dengan demokrasi menjadi perhatian yang paling utama demi terciptanya keadilan dan kepastian hukum di seluruh masyarakat Indonesia khususnya di Kabupaten Yalimo Provinsi Papua," pungkasnya. (dil/jpnn)

 

Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler