SIDOARJO - Nyaris separo wilayah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, "hilang" karena lumpur Lapindo yang menyembur tanpa henti sejak 29 Mei 2006. Hingga kini, semburan lumpur tersebut menenggelamkan 641 hektare lahan di enam desa. Untuk memastikan keadaan aman, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) berniat membebaskan sejumlah lahan lagi di kawasan semburan lumpur.
"Kami memang harus mengosongkan wilayah tersebut," kata Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo. Berdasar kajian BPLS dengan beberapa lembaga, wilayah di Jatirejo, Mindi, dan Siring sudah tidak layak huni. Sebab, di tiga wilayah tersebut kerap muncul bubble (gelembung gas). Tanahnya retak dan kondisi air tidak layak pakai.
"Ada sembilan RT (rukun tetangga, Red) di tiga desa tersebut yang kami bebaskan. Namun, hingga saat ini, masih ada lima berkas yang belum terbebaskan," ungkap Dwinanto. Pembebasan tersebut didasarkan kepada Perpres Nomor 68 Tahun 2011. Luas lahan di sembilan RT tersebut 31 hektare.
Sebelumnya, pemerintah mengosongkan wilayah di tiga desa di Kecamatan Jabon. Yakni, Besuki, Kedungcangkring, dan Pejarakan. Totalnya, 70 hektare. Masih ada 50 berkas yang belum tuntas.
Kendati begitu, wilayah tiga desa itu sudah nyaris tanpa bangunan alias kosong. Kini, dengan berdasar Perpres Nomor 37 Tahun 2012, pemerintah berniat membebaskan lahan di 65 RT yang mencakup tiga kecamatan. Yakni, Porong, Jabon, dan Tanggulangin. Luasnya 329 hektare. Jika kelak semua lahan tersebut dibebaskan, bakal ada 1.071 hektare lahan kosong.
Pertanyaan berikutnya, mau dibuat apa lahan 1.071 hektare itu? "Kami belum memikirkan. BPLS tidak punya wewenang membangun. Kami fokus membeli wilayah yang telah dinyatakan tidak aman tersebut," ujar Dwinanto.
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah punya angan-angan sendiri. Dia berencana menjadikan kawasan Porong dan sekitarnya yang "hilang" tersebut sebagai lahan hijau. Sebab, lahan di sana tidak memungkinkan untuk didirikan bangunan.
"Lahan ini akan jauh lebih bermanfaat jika dijadikan lahan hijau. Saya sudah bicarakan hal ini dengan pemerintah pusat," papar Saiful.
Dengan begitu, kawasan Porong bisa menjadi hutan kota yang berfungsi menyerap air hujan dan polusi. Bupati memberikan contoh Taman APKASI di lahan bekas Pasar Porong.
Ide Saiful itu tidak sepenuhnya ditampik BPLS. Saat ini BPLS melakukan penghijauan di tiga desa di kawasan Jabon. "Mungkin saja ini mengarah ke ekowisata, eco park, atau murni menjadi lahan hijau. Khusus yang di tiga desa di Jabon untuk mengefektifkan pengaliran lumpur ke selatan dan lahannya kami tanami," ujar Dwinanto.
Pertengahan tahun ini BPLS melakukan kajian tentang pemfungsian lahan yang dibebaskan tersebut. Untuk itu, BPLS bakal mengundang pakar dari berbagai bidang. "Hasil kajian akan kami sampaikan ke Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional). Mereka yang berhak," ucap Dwinanto.
Sementara derita warga yang terkena semburan lumpur Lapindo belum juga berakhir. Mereka terus berjuang untuk mendapatkan ganti rugi. Salah seorang di antara mereka, Kusno. Bersama puluhan warga yang lain, Kusno menggelar doa di tanggul lumpur.
"Tanah ini masih milik kami. Sebab, ganti rugi kami belum dilunasi. Permintaan kami sederhana; segera lunasi uang ganti rugi kami," kata Kusno.
Pembayaran ganti rugi memang tidak lancar. Kali terakhir pembayaran pada Desember lalu, warga hanya menerima Rp 5 juta. "Kami selalu diberi janji. Jika diibaratkan orang minum, kami ini sudah kenyang minum janji-janji dan hampir mabuk karenanya," ujar Sudarto, warga Renokenongo, Porong.
Pria 62 tahun itu menegaskan, sekarang adalah saatnya pelunasan. "Jika kembali hanya diberi janji, bisa jadi kami benar-benar mabuk dan menjadi tidak rasional. Sudah tujuh tahun derita kami tidak kunjung berakhir," kata Sudarto. (fim/c4/ca)
"Kami memang harus mengosongkan wilayah tersebut," kata Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo. Berdasar kajian BPLS dengan beberapa lembaga, wilayah di Jatirejo, Mindi, dan Siring sudah tidak layak huni. Sebab, di tiga wilayah tersebut kerap muncul bubble (gelembung gas). Tanahnya retak dan kondisi air tidak layak pakai.
"Ada sembilan RT (rukun tetangga, Red) di tiga desa tersebut yang kami bebaskan. Namun, hingga saat ini, masih ada lima berkas yang belum terbebaskan," ungkap Dwinanto. Pembebasan tersebut didasarkan kepada Perpres Nomor 68 Tahun 2011. Luas lahan di sembilan RT tersebut 31 hektare.
Sebelumnya, pemerintah mengosongkan wilayah di tiga desa di Kecamatan Jabon. Yakni, Besuki, Kedungcangkring, dan Pejarakan. Totalnya, 70 hektare. Masih ada 50 berkas yang belum tuntas.
Kendati begitu, wilayah tiga desa itu sudah nyaris tanpa bangunan alias kosong. Kini, dengan berdasar Perpres Nomor 37 Tahun 2012, pemerintah berniat membebaskan lahan di 65 RT yang mencakup tiga kecamatan. Yakni, Porong, Jabon, dan Tanggulangin. Luasnya 329 hektare. Jika kelak semua lahan tersebut dibebaskan, bakal ada 1.071 hektare lahan kosong.
Pertanyaan berikutnya, mau dibuat apa lahan 1.071 hektare itu? "Kami belum memikirkan. BPLS tidak punya wewenang membangun. Kami fokus membeli wilayah yang telah dinyatakan tidak aman tersebut," ujar Dwinanto.
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah punya angan-angan sendiri. Dia berencana menjadikan kawasan Porong dan sekitarnya yang "hilang" tersebut sebagai lahan hijau. Sebab, lahan di sana tidak memungkinkan untuk didirikan bangunan.
"Lahan ini akan jauh lebih bermanfaat jika dijadikan lahan hijau. Saya sudah bicarakan hal ini dengan pemerintah pusat," papar Saiful.
Dengan begitu, kawasan Porong bisa menjadi hutan kota yang berfungsi menyerap air hujan dan polusi. Bupati memberikan contoh Taman APKASI di lahan bekas Pasar Porong.
Ide Saiful itu tidak sepenuhnya ditampik BPLS. Saat ini BPLS melakukan penghijauan di tiga desa di kawasan Jabon. "Mungkin saja ini mengarah ke ekowisata, eco park, atau murni menjadi lahan hijau. Khusus yang di tiga desa di Jabon untuk mengefektifkan pengaliran lumpur ke selatan dan lahannya kami tanami," ujar Dwinanto.
Pertengahan tahun ini BPLS melakukan kajian tentang pemfungsian lahan yang dibebaskan tersebut. Untuk itu, BPLS bakal mengundang pakar dari berbagai bidang. "Hasil kajian akan kami sampaikan ke Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional). Mereka yang berhak," ucap Dwinanto.
Sementara derita warga yang terkena semburan lumpur Lapindo belum juga berakhir. Mereka terus berjuang untuk mendapatkan ganti rugi. Salah seorang di antara mereka, Kusno. Bersama puluhan warga yang lain, Kusno menggelar doa di tanggul lumpur.
"Tanah ini masih milik kami. Sebab, ganti rugi kami belum dilunasi. Permintaan kami sederhana; segera lunasi uang ganti rugi kami," kata Kusno.
Pembayaran ganti rugi memang tidak lancar. Kali terakhir pembayaran pada Desember lalu, warga hanya menerima Rp 5 juta. "Kami selalu diberi janji. Jika diibaratkan orang minum, kami ini sudah kenyang minum janji-janji dan hampir mabuk karenanya," ujar Sudarto, warga Renokenongo, Porong.
Pria 62 tahun itu menegaskan, sekarang adalah saatnya pelunasan. "Jika kembali hanya diberi janji, bisa jadi kami benar-benar mabuk dan menjadi tidak rasional. Sudah tujuh tahun derita kami tidak kunjung berakhir," kata Sudarto. (fim/c4/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudah Saatnya Rakyat Disiapkan Bela Negara
Redaktur : Tim Redaksi