jpnn.com - JAKARTA - Kondisi ekonomi Indonesia saat ini ibarat buah simalakama. Jika pertumbuhan ekonomi didorong, maka impor akan makin tinggi sehingga defisit transaksi berjalan kian membengkak. Namun, jika BI rate dinaikkan untuk meredam defisit transaksi berjalan, pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyadari hal tersebut. Karena itu, meski mengakui bahwa defisit transaksi berjalan harus diatasi, pemerintah tetap berkeinginan menjaga laju pertumbuhan ekonomi agar tidak jatuh. "Kita akan coba netralisir dampak naiknya BI Rate pada perekonomian," ujarnya di Jakarta kemarin (12/11).
Apa jurus pemerintah? Bambang menyebut, pemerintah kini menyiapkan dua paket kebijakan untuk tetap menyokong ekonomi. Paket pertama terkait neraca dagang rencananya akan dikeluarkan bulan November ini. Sedangkan paket ke dua terkait investasi akan dirilis Desember mendatang.
BACA JUGA: Swasta Mulai Malas Rebut Saham Inalum
"Memang, tidak ada solusi jangka pendek untuk mengatasi masalah ini. Kecuali, belanja modal kita tingkatkan dan daya beli masyarakat kita jaga," katanya.
Sementara sebelum kebijakan-kebijakan stimulus itu dirilis, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) sebesar 0,25 basis poin (bps) ke posisi 7,5 persen. Sehingga, sejak enam bulan ini, Otoritas Moneter tersebut telah menaikkan BI rate total sebesar 175 bps atau 1,75 persen.
Direktur Eksekutif Departemen Bank Indonesia Difi A. Johansyah mengatakan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan untuk mengerek BI rate, lantaran defisit transaksi berjalan yang dipicu oleh impor di tengah risiko ketidakpastian global ini masih lebar.
BACA JUGA: PPA Minta Merpati Airlines Ditutup
"Karena itu, untuk memastikan defisit transaksi berjalan turun ke tingkat yang lebih sehat, serta inflasi yang terkendali pada 2014, keputusan ini diambil untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi," ungkapnya di gedung BI, kemarin (12/11).
Selain meningkatkan BI rate, lending facility rate juga dikerek dari 7,25 persen menjadi 7,5 persen. RDG yang dipimpin oleh Agus Martowardojo tersebut juga memutuskan untuk menaikkan fasilitas simpanan Bank Indonesia (Fasbi) rate sebesar 25 bps dari 5,5 persen menjadi 5,75 persen.
Difi memaparkan, ekonomi global yang masih dibayangi risiko ketidakpastian yang tinggi tersebut masih mengiringi performa yang kurang baik pada fundamental ekonomi RI. Misalnya, defisit balance of payment atau Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan ketiga 2013 yang masih mengalami tekanan defisit.
Namun demikian, diharapkan defisit ini akan mengecil searah dengan sedikit perbaikan current account deficit atau defisit transaksi berjalan.
Tercatat, defisit Neraca Transaksi Berjalan diperkirakan menurun menjadi USD 8,4 miliar pada triwulan ketiga 2013, dibandingkan dengan triwulan dua 2013 yang hampir USD 10,0 miliar. Perbaikan tersebut terutama tejadi pada surplus neraca perdagangan komoditas non-migas (fob), lantaran menurunnya impor non-migas.
Turunnya impor non migas ini karena melambatnya permintaan dalam negeri yang tertekan suku bunga tinggi. Tak hanya itu, defisit neraca jasa dan neraca pendapatan juga mengecil.
BACA JUGA: Gunakan Kerikil, Dahlan Jelaskan Impor Listrik dari Malaysia
"Yang harus diwaspadai adalah impor migas yang masih tinggi karena untuk konsumsi. Padahal produksi migas dalam negeri menurun," paparnya.
Naiknya tingkat suku bunga ini sebetulnya telah diproyeksi oleh para ekonom. Chief Economist PT Bank Mandiri (persero) Tbk Destry Damayanti mengatakan, kenaikan BI rate tersebut merupakan respons BI untuk menekan pertumbuhan kredit. Sebab, kata Destri, pertumbuhan kredit saat ini dinilai masih tinggi.
Dengan kenaikan BI rate, BI bisa berkonsentrasi mengurangi impor dan menekan defisit neraca transaksi berjalan. "Kenaikan BI rate ini mencerminkan BI masih berkonsentrasi untuk menyeimbangkan sektor eksternal," ungkap Destri.
Selain itu, kenaikan lending facility rate sebesar 25 bps juga mencerminkan bahwa BI menghendaki industri perbankan nasional tidak agresif menyalurkan kreditnya. Karena pada dasarnya, lending facility rate diberikan BI untuk perbankan yang mengalami kekurangan likuiditas.
"Namun seharusnya tidak hanya BI saja yang mengeluarkan kebijakan pengetatan moneter, tetapi juga diimbangi kebijakan pemerintah di sektor riil, seperti pengurangan impor minyak dan gas," paparnya.
Di satu sisi, kenaikan BI rate ini, menurut Destri juga mencerminkan BI akan mengurangi intervensi dalam nilai tukar atau currency alias kurs. Seperti catatan BI, nilai tukar rupiah pada Oktober 2013 cukup stabil dan bergerak sesuai dengan fundamentalnya. Nilai tukar rupiah secara point to point menguat sebesar 2,73 persen (month to month) menjadi Rp 11.273 per dolar AS.
Namun, secara rata-rata melemah 0,14 persen mtm menjadi Rp 11.343 per dolar AS. Nilai tukar yang masih pada kisaran stabil ini dipengaruhi terkendalinya permintaan impor non-migas. (gal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perjelas Business Plan, Merpati Di-deadline Sebulan
Redaktur : Tim Redaksi