JAKARTA - Ekonom Dradjad H Wibowo menilai Direktorat Bea dan Cukai belum bisa menjalankan instruksi pemerintah tentang memudahkan pelayanan sekaligus memangkas ekonomi biaya tinggi. Menurutnya, pada saat pemerintah meminta pengusaha agar tidak cengeng dalam menghadapi persaingan global, justru DJBC belum siap memberikan pelayanan terbaik.
Dari investigasi yang dilakukan Dradjad, dwell time atau total waktu yang diperlukan sejak kontainer keluar dari kapal yang datang hingga keluar dari pintu area pelabuhan masih terlalu panjang. Padahal, pemerintah di bawah koordinasi Menko Perekonomian menargetkan penurunan dwell time dari 6,04 hari menjadi 4 hari.
Sebagai perbandingan, Dradjad menyodorkan contoh dwell time di negara lain. Di Pelabuhan Port Klang Malaysia misalnya, dwell time hanya 4 hari. Di Australia hanya 3 hari dan di Hongkong malah 2 hari saja. "Di Singapura cukup 1,1 hari," kata Dradjad melalui rilisnya, Minggu (7/7).
Sementara untuk Indonesia, Dradjad mencontohkan Kantor Pelayanan Utama (KPU) BC Tanjung Priok yang masih belum bisa cekatan dalam memberikan pelayanan. "Dwell time untuk Jalur Merah (jalur dengan pemeriksaan dokumen dan fisik secara menyeluruh, red) memakan waktu paling cepat 11,5 hari. Bahkan tidak jarang prosesnya mencapai 21 hari," sebutnya.
Dituturkannya, contoh paling sederhana adalah proses permohonan petugas pemeriksa yang semestinya selesai paling lama 4 jam, saat ini bisa memakan waktu 1-2 hari penuh. Sementara penarikan kontainer ke lokasi behandel yang harusnya bisa selesai paling lama 20-24 jam, sekarang memakan waktu 1-5 hari.
Di Jalur Merah, kata Dradjad, setidaknya ada 6 titik proses di yang bisa dipercepat oleh DJBC. Di antarnya adalah persiapan dokumen, pendokumentasian oleh aparat BC hingga pemeriksaan fisik, respon Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD), sampai proses akhir Notul (Nota Pembetulan) dan terbitnya SPPB (Surat Persetujuan Pengeluaran Barang).
Lebih lanjut Dradjad mencontohkan sebuah perusaaan yang mengeluh karena barang yang diimpor berupa 295 bundel steel section with boron sudah tertahan selama dua tahun di KPU Tanjung Priok. Padahal, kewajiban pabeannya sudah diselesaikan pada 6 Juni 2011 silam.
Awalnya, DJBC menetapkan tarif dan atau nilai pabean yang mengakibatkan perusahaan pengimpor baja itu harus membayar tagihan kekurangan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor sebesar Rp 1,58 milyar. Karena keberatan, perusahaan itu mengajukan banding ke pengadilan pajak.
Ternyata, permohonan perusahaan tersebut dimenangkan pengadilan pada 30 April 2013. "Tapi meski sudah kalah di pengadilan, DJBC tetap belum mengijinkan pengeluaran barang. Akibatnya barang tertahan selama 730 hari hingga saat ini," sebut Dradjad.
Ekonom yang juga Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan bahwa inkompetensi dan arogansi birokrasi seperti itu jelas tidak bisa ditolerir. "Ini menjadi contoh khas bagaimana birokrasi Kemenkeu membunuh pelaku usaha. Seharusnya, aparat spt ini bisa dipidana badan karena kezholimannya," cetusnya.
Parahnya, kata Dradjad, lambatnya pelayanan di Jalur Merah itu juga terjadi di pelabuhan selain Tanjung Priok. Di Tanjung Perak Surabaya dan Tanjung Emas Semarang, katanya, juga lebih lelet. "Itu sebabnya terjadi penumpukan kontainer yang luar biasa di berbagai pelabuhan. Andai di Jalur Merah bisa dipercepat, dwell time dan penumpukan kontainer pasti bisa turun drastis," tegasnya.
Dradjad menambahkan, sudah saatnya pemerintah merombak total DJBC mulai dari jajaran paling bawah hingga ke tingkat dirjennya. "Faktanya, DJBC saat ini sangat buruk dan lambat pelayanannya, menjadi salah satu bottle neck bagi lalu lintas barang, serta menyebabkan ekonomi biaya tinggi, inflasi, pelemahan daya saing dan kerusakan dunia usaha," pungkasnya.(ara/jpnn)
Dari investigasi yang dilakukan Dradjad, dwell time atau total waktu yang diperlukan sejak kontainer keluar dari kapal yang datang hingga keluar dari pintu area pelabuhan masih terlalu panjang. Padahal, pemerintah di bawah koordinasi Menko Perekonomian menargetkan penurunan dwell time dari 6,04 hari menjadi 4 hari.
Sebagai perbandingan, Dradjad menyodorkan contoh dwell time di negara lain. Di Pelabuhan Port Klang Malaysia misalnya, dwell time hanya 4 hari. Di Australia hanya 3 hari dan di Hongkong malah 2 hari saja. "Di Singapura cukup 1,1 hari," kata Dradjad melalui rilisnya, Minggu (7/7).
Sementara untuk Indonesia, Dradjad mencontohkan Kantor Pelayanan Utama (KPU) BC Tanjung Priok yang masih belum bisa cekatan dalam memberikan pelayanan. "Dwell time untuk Jalur Merah (jalur dengan pemeriksaan dokumen dan fisik secara menyeluruh, red) memakan waktu paling cepat 11,5 hari. Bahkan tidak jarang prosesnya mencapai 21 hari," sebutnya.
Dituturkannya, contoh paling sederhana adalah proses permohonan petugas pemeriksa yang semestinya selesai paling lama 4 jam, saat ini bisa memakan waktu 1-2 hari penuh. Sementara penarikan kontainer ke lokasi behandel yang harusnya bisa selesai paling lama 20-24 jam, sekarang memakan waktu 1-5 hari.
Di Jalur Merah, kata Dradjad, setidaknya ada 6 titik proses di yang bisa dipercepat oleh DJBC. Di antarnya adalah persiapan dokumen, pendokumentasian oleh aparat BC hingga pemeriksaan fisik, respon Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD), sampai proses akhir Notul (Nota Pembetulan) dan terbitnya SPPB (Surat Persetujuan Pengeluaran Barang).
Lebih lanjut Dradjad mencontohkan sebuah perusaaan yang mengeluh karena barang yang diimpor berupa 295 bundel steel section with boron sudah tertahan selama dua tahun di KPU Tanjung Priok. Padahal, kewajiban pabeannya sudah diselesaikan pada 6 Juni 2011 silam.
Awalnya, DJBC menetapkan tarif dan atau nilai pabean yang mengakibatkan perusahaan pengimpor baja itu harus membayar tagihan kekurangan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor sebesar Rp 1,58 milyar. Karena keberatan, perusahaan itu mengajukan banding ke pengadilan pajak.
Ternyata, permohonan perusahaan tersebut dimenangkan pengadilan pada 30 April 2013. "Tapi meski sudah kalah di pengadilan, DJBC tetap belum mengijinkan pengeluaran barang. Akibatnya barang tertahan selama 730 hari hingga saat ini," sebut Dradjad.
Ekonom yang juga Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan bahwa inkompetensi dan arogansi birokrasi seperti itu jelas tidak bisa ditolerir. "Ini menjadi contoh khas bagaimana birokrasi Kemenkeu membunuh pelaku usaha. Seharusnya, aparat spt ini bisa dipidana badan karena kezholimannya," cetusnya.
Parahnya, kata Dradjad, lambatnya pelayanan di Jalur Merah itu juga terjadi di pelabuhan selain Tanjung Priok. Di Tanjung Perak Surabaya dan Tanjung Emas Semarang, katanya, juga lebih lelet. "Itu sebabnya terjadi penumpukan kontainer yang luar biasa di berbagai pelabuhan. Andai di Jalur Merah bisa dipercepat, dwell time dan penumpukan kontainer pasti bisa turun drastis," tegasnya.
Dradjad menambahkan, sudah saatnya pemerintah merombak total DJBC mulai dari jajaran paling bawah hingga ke tingkat dirjennya. "Faktanya, DJBC saat ini sangat buruk dan lambat pelayanannya, menjadi salah satu bottle neck bagi lalu lintas barang, serta menyebabkan ekonomi biaya tinggi, inflasi, pelemahan daya saing dan kerusakan dunia usaha," pungkasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lonjakan Sembako Terjadi karena Kongkalingkong
Redaktur : Tim Redaksi