"Kalau peristiwa sebelum tahun 2000 memerlukan itu (pengadilan HAM). Sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000," ujar Basrief di Gedung Kejaksaan Agung, Jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Selasa (24/7).
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) menyatakan Jaksa Agung seharusnya dapat melakukan penyidikan terhadap sejumlah peristiwa pelanggaran HAM tanpa menunggu pengadilan Ad Hoc. Beberapa peristiwa itu di antaranya pelanggaran HAM berat Timor-Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984.
Menurut KontraS, Jaksa Agung tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) UU No 26 tahun 2006 tentang Pengadilan HAM.
MK dalam keputusannya menyatakan bahwa pasal 43 ayat 2 tetap berlaku. MK menyatakan untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan pengadilan HAM ad hoc suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi berwenang, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Sehingga dalam hal ini, seharusnya Jaksa Agung dapat melakukan penyidikan tanpa harus menunggu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu.
Meski demikian, Basrief mengatakan pengadilan HAM ad hoc tetap penting dan diperlukan bukan hanya untuk memutuskan perkara HAM. Melalui pengadilan tersebut, kata dia, akan ada proses penyidikan perkara seperti melakukan penggeledahan dan penyitaan. Dalam hal ini, jaksa memerlukan izin dari pengadilan HAM.
"Untuk upaya paksa harus ada izin dari pengadilan," tandas Basrief.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hukum Berat Petugas Lapas Terlibat Narkoba
Redaktur : Tim Redaksi