jpnn.com - Kota Solo, selama bertahun-tahun, memiliki reputasi yang kurang baik sebagai kota yang intoleran, bahkan dianggap sebagai penghasil teroris.
Namun, dengan kepemimpinan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo, citra negatif tersebut berangsur-angsur berubah. Melalui kebijakan-kebijakan progresifnya, Gibran mampu mengubah Solo menjadi kota yang lebih toleran, membangun fondasi bagi kerukunan antaragama, dan mendapatkan pengakuan dalam Indeks Kota Toleran (IKT) 2022.
BACA JUGA: Konon Elektabilitas Prabowo-Gibran Sudah di Atas 60 Persen, Masa, yang Lain Tidur?
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi peran Gibran dalam mengubah citra Solo serta dampak positifnya terhadap toleransi dan multikulturalisme di kota ini.
Multikulturalisme, seperti dijelaskan Heru Saputra dan Heru Prastyo (2021) dalam “Multicultural Education and Society Empowerement Based on Pesantren-Majelis Ta’lim”, telah menjadi kebijakan baru dalam merespons perbedaan, di mana semua pihak harus diperlakukan sama dan adil.
BACA JUGA: Petisi Koalisi Masyarakat Sipil di Acara Kamisan Menyoal Pencalonan Prabowo-Gibran
Sebelum Gibran Rakabuming Raka menjabat sebagai Wali Kota Solo, citra kota ini sangat dipengaruhi oleh sejarah intoleransi dan keberadaan sejumlah teroris yang berasal dari Solo.
Hal ini memberikan stigma buruk kepada kota yang juga terkenal dengan batik, keraton, dan kebudayaannya yang kaya.
BACA JUGA: Bamsoet Pastikan Kader Golkar Siap Menangkan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024
Pandangan negatif terhadap Solo turut merugikan perkembangan kota ini, baik dari segi pariwisata maupun investasi.
Dalam dua tahun kepemimpinannya, Gibran mampu melakukan perubahan yang signifikan terhadap citra Solo. Salah satu pencapaian yang mencolok adalah peningkatan nilai-nilai toleransi beragama.
Gibran memfokuskan upayanya untuk membangun atmosfer inklusif di kota, di mana semua warga merasa aman dan dihargai tanpa memandang perbedaan agama.
Perubahan Paradigma Intoleransi
Multikulturalisme agama menekankan pada inisiatif pemerintah dan memerlukan partisipasi aktif negara untuk melindungi warga dengan keyakinan agama yang berbeda, terutama kelompok agama minoritas.
Sayangnya, seperti dinilai oleh Augie Fleras dalam “Multiculturalism as Governance: Principles and Paradoxes, Policies and Perspectives,” proses demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia belum membawa pada formulasi kebijakan publik yang merangkul secara universal, inovatif, dan inklusif terhadap keragaman budaya dan agama yang ada di Indonesia.
Bahkan, di banyak daerah, kasus intoleransi masih sering terjadi.
Namun demikian, Gibran berupaya mengubah paradigma intoleransi yang melekat pada Solo.
Sebagai contoh, sebelumnya, Solo dikenal sebagai kota yang sulit memperoleh izin pembangunan tempat ibadah bagi kelompok agama minoritas.
Namun, dengan kepemimpinan Gibran, setiap warga bebas untuk merayakan hari besar agamanya secara meriah, tanpa takut akan diskriminasi atau hambatan.
Gibran tidak hanya mengubah kebijakan-kebijakan formal, tetapi juga menciptakan suasana keterbukaan terhadap perbedaan di tengah masyarakat.
Setiap kelompok agama merasa diakui dan dihormati, yang menciptakan fondasi bagi toleransi yang lebih baik di Kota Solo.
Keterlibatan Gibran dalam kegiatan keagamaan dari berbagai komunitas juga memberikan sinyal positif akan komitmen pribadinya terhadap kerukunan.
Salah satu bukti nyata dari transformasi positif Solo di bawah kepemimpinan Gibran adalah keputusan Majelis Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia (MNSBDI) untuk menggelar kegiatan doa bersama di Kota Solo.
Sebelumnya, hal seperti ini mungkin sulit diwujudkan karena citra negatif Solo sebagai kota intoleran.
Namun, sekarang Solo dipilih sebagai tuan rumah karena dianggap sebagai kota yang berkesan, dengan fasilitas yang mumpuni, kuliner yang spesial, dan masyarakat yang ramah.
Pengakuan Indeks Kota Toleran (IKT)
Pencapaian luar biasa Kota Solo di bawah kepemimpinan Gibran terlihat dalam hasil Indeks Kota Toleran (IKT) 2022.
Bahkan, Kota Solo naik kelas menjadi kota paling toleran nomor 4 se-Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan laporan Setara Institute yang merilis daftar kota paling toleran se-Indonesia dalam laporan bertajuk Indeks Kota Toleran (IKT) 2022.
Hasilnya, Solo berhasil masuk pada jajaran 10 besar kita paling toleran dengan mengumpulkan 5.883 poin atau berada di bawah Singkawang (6.583 poin) yang berada di posisi pertama, lalu diikuti Salatiga (6.417 poin), dan Bekasi (6.080 poin).
Solo berhasil unggul dari Kediri, Sukabumi, Semarang, Manado, Kupang, dan Magelang.
Hal ini membuktikan bahwa upaya Gibran dalam membangun toleransi beragama tidak hanya berdampak secara lokal, tetapi juga diakui secara nasional.
Gibran juga menunjukkan sikap tegas terhadap kelompok intoleran yang mencoba menghambat pembangunan tempat ibadah atau melakukan penyegelan.
Keberanian Gibran untuk membuka kembali tempat ibadah yang telah disegel memberikan sinyal kuat bahwa intoleransi tidak akan diberikan tempat di Solo di bawah kepemimpinannya.
Gibran berupaya untuk menerapkan apa yang disebut oleh Lawrence M. Friedmen dalam bukunya the Republic of Choice: Law, Authority and Culture sebagai budaya hukum (legal culture), yaitu sebuah norma hukum yang berasal dari nilai-nilai budaya atau kebiasaan masyarakat setempat, bertujuan untuk memastikan kelancaran penerapan peraturan perundang-undangan atau norma hukum yang berlaku di wilayah tersebut.
Selain hendak mempertegas hak legal setiap umat beragama, jaminan untuk memberikan pelayanan pembangunan tempat ibadah juga diimbangi dengan upaya Gibran untuk memberikan fasiltias terhadap semua umat beragama.
Contohnya, Gibran menjadikan Taman Balaikota Surakarta sebagai lokasi penyelenggaraan berbagai kegiatan budaya, seperti konser musik, pertunjukan tarian tradisional, dan pameran seni.
Melalui acara-acara tersebut, masyarakat dapat mengapresiasi dan menghormati keragaman budaya yang ada di Surakarta.
Dalam dua tahun kepemimpinan Gibran Rakabuming Raka, Solo mengalami transformasi luar biasa dari kota yang dulu dianggap intoleran menjadi salah satu kota paling toleran di Indonesia.
Melalui kebijakan-kebijakan progresifnya, Gibran berhasil menciptakan atmosfer inklusif dan keterbukaan terhadap perbedaan di tengah masyarakat Solo.
Keputusan Majelis Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia untuk menggelar kegiatan doa bersama di Solo, serta pengakuan dalam IKT 2022, menjadi bukti nyata bahwa Solo kini diterima sebagai kota yang ramah, toleran, dan berbudaya.
Perubahan ini bukan hanya menjadi upaya Gibran untuk memperbaiki Kota Solo, tetapi juga memberikan contoh inspiratif bagi kota-kota lain di Indonesia dan masyarakat global tentang pentingnya membangun toleransi dalam menghadapi perbedaan agama dan budaya.
Solo di bawah kepemimpinan Gibran Rakabuming Raka telah membuktikan bahwa perubahan positif dapat terjadi, bahkan dalam konteks yang penuh tantangan seperti transformasi citra sebuah kota.
Gibran berusaha untuk menciptakan situasi inklusif Kota Solo yang menghargai keragaman dengan bersikap toleran dan menerima perbedaan.
Agar penerapan kebijakan multikulturalisme dapat terjadi secara konsisten di Solo, Gibran terus mengambil langkah-langkah untuk mempromosikan multikulturalisme di kalangan masyarakat sejak dari tingkat kotanya.
Penulis Adalah Presiden Mahasiswa Hukum Keluarga 2023
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif